Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Tidak Ada Diskriminasi di Indonesia?

20 Desember 2016   20:22 Diperbarui: 21 Desember 2016   10:42 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskriminasi bukan hanya membedakan suku bangsa dan agama, tapi juga membedakan orang berdasarkan tingkatannya dalam kehidupan sosial. Bila yang datang adalah boss, atau pejabat, maka dipersilahkan duduk di ruang tamu. Tapi bila yang datang bertamu "cuma" tetangga, yang bukan orang penting, maka orang merasa cukup melayaninya di depan pintu pagar, sambil berdiri, Atau paling paling, duduk di kursi taman, yang ada di teras rumah.

Kita tidak setuju ada pengkastaan dalam masyarakat Indonesia, tapi mengapa kita sendiri mempraktekkannya?

Mulailah dari Diri Sendiri dan Keluarga

Kata orang pintar bilamana ingin mengubah dunia, maka mulailah terlebih dulu dengan diri sendiri dan keluarga. Maka bila ingin menghapuskan prakek kasta di negeri tercinta kita, maka mulailah dari diri kita. Mulai hari ini, ajaklah sopir duduk makan bersama dengan kita, kalau tangannya kumuh, bisa diminta sopir cuci tangan terlebih dulu, sebelum menyentuh makanannya.

Kalau ada pembantu di rumah, maka mulai hari ini katalanlah pada istri dan anak anak, bahwa mulai hari ini pembantu diizinkan duduk makan bersama di meja makan. Dan kalau ada tukang kebun, katakanlah pada anak dan istri jangan biarkan tukang kebun duduk makan di rerumputan. Tapi izinkanlah ia duduk di meja makan.

Mereka itu sama dengan kita, Mereka sesungguhnya juga tidak ingin menjadi pembantu rumah tangga, menjadi tukang kebun, atau menjadi tukang pel lantai. Maunya, kalau bisa mereka juga ingin menjadi boss, pejabat atau orang berkecukupan seperti kita. Tapi garis telapak tanganlah yang menghantarkan mereka, memainkan peranannya seperti ini.

Jangan lupa, yang hari ini menjadi sopir pribadi kita, bisa jadi 10 tahun kemudian menjadi boss yang lebih sukses dari pada kita. Hidup itu bersifat dinamika, berubah dari waktu kewaktu. Yang biasa di atas, bisa jadi turun ke bawah atau masuk bui dan yang hari ini kuli, bisa jadi kelak akan menjadi boss. Mohon jangan dilupakan hal ini.

Karena saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mantan boss yang dulu pernah mengusir saya, di belakang hari saya jumpai sedang memungut kardus bekas di Kemayoran Jakarta Pusat. Jadi Pemulung. Amat menyedihkan? Nah, agar jangan sampai terjadi pada diri kita, janganlah sombong, sukses disyukuri, tapi tetaplah rendah hati.

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun