Kami disediakan kamar suite room di Hotel Instia,yang berdampingan dengan pantai .Karena itu ,ketika hari mulai temaram,kami tidak melewatkan moment sangat berharga ini,yakni berburu  matahari terbenam Mentari di senja itu sudah mulai menyelinap di antara gumpalan awan. Percikan cahayanya masih menyisakan  aneka ragam warna,yang memantul ulang dalam kemilaunya air laut yang membentang.
foto: tjiptadinata effendi
Pantai Biak tampak,bagaikan  gadis desa yang belum tahu bersolek,dibalik pakaiannya yang sangat sederhana, tanpa dipoles dengan kosmetik apa pun.Namun kemolekannya, tak kalah bila  disandingkan dengan Pantai Pataya di Thailand. Walaupun tak terbersit adanya turun  turun tangannya jemari anak manusia yang tampak berupaya untuk  memberikan warna pada keelokan alam di sini.Â
Di tepi pantai ini,tampak bebatuan karang yang lebih besar dari pelukan orang dewasa,serta  tempat berteduh yang tercipta dari daunan pohon kelapa yang tumbuh subur disana.
foto: tjiptadinata effendi
Menyaksikan semuanya ini, mampu memupus rasa letih dan kantuk ,walaupun  penerbangan telah  menghabiskan waktu,total hampir 12 jam,dari Bandara Soetta,termasuk stop over di Bandara Sultan Hasanuddin,hingga mendarat dengan selamat di Bandara Franss Kasiepo di Biak. Bahkan  temaramnya sinar mentari ,sama sekali  tidak menyurutkan kemolekan pantai ini Bahkan serasa semakin menebarkan pesona yang  mampu menghipnotis siapa pun yang memandangnya.
foto: tjiptadinata effendi
Momentum  emas ini tentu tidak saya  sia-siakan dan berkali kali ,camera saku merk Samsung ,yang senantiasa menemani kantong saya, memancarkan kilatan .untuk memastikan ,bahwa minimal salah satunya dapat diabadikan.
Dari sini,sayup-sayup sampai ,tampak  kapal-kapal ukuran kecil, berlalu-lalang, bagaikan sabut yang terombang-ambing di depan pelabuhan Biak. Serasa tak puas mata mereguk segala keindahan alam di sini. Semakin menghadirkan kepenuhan rasa syukur yang bersemai di dalam hati. Bagi yang belum pernah menapakkan kakinya di Biak,mungkin sejak dari sekarang perlu menciptakan niat dihati ,bahwa suatu waktu akan berkunjung kesana.
foto: tjiptadinata effendi
Sore itu. kami dibawa untuk berkunjung ke supermarket "Amerika" yang berlokasi hanya sekitar 30 menit dari lokasi Hotel,dimana kami akan menginap].Kami berkendara dengan di sopiri oleh Mas Rizal ,yang berasal dari Pulau Buton. Didampingi pak Wayan dan pak Carlos. Sekitar 40 menit berkendara, dari kejauhan tampak pos penjagaan.
"Kita sudah memasukki daerah 'Freeport " kata mas Rizal memberitahu dan segera melambatkan lajunya kendaraan. Membuka kaca jendela dan berhenti sejenak di pos penjagaan ,mengatakan sesuatu dan melambaikan tangan
foto: tjiptadinata effendi
Dari kejauhan,tampak ada Masjid dan Gereja yang saling berhadapan.Maka kami manfaatkan untuk berhenti sejenak,untuk mengabadikan perjalanan kami. Gereja Betlehem di Kuala Kencana ini,menurut pak Carlos ,merupakan gereja Oikume.PT. Freeport Indonesia , juga membangun tempat ibadah masjid dan gereja untuk para penambangnya di bawah tanah di Tembagapura, Mimika, Papua.
foto: tjiptadinata effendi
Dua tempat ibadah itu dibangun benar-benar di perut bumi karena berada sekitar 1.500 meter dari permukaan tanah.yang merupakan tempat beribadah pertama yang dibangun di bawah tanah..Â
Gereja diberi nama Oikumene Soteria yangi keselamatan dan masjid diberi nama Baitul Munawar yang artinya pintu tempat cahaya. Total kapasitasnya dalah 200 orang.Tapi sayang sekali,kami belum mendapatkan kesempatan untuk berkunjung kesana,karena harus ada ijin berkunjung.
Lihat Travel Story Selengkapnya