'Pukek' atau pukat adalah cara menjala ikan tradisional yang sudah ada sejak tempo dulu. Masih dijaga kelestariannya oleh warga Kota Padang yang berdomisili di sekitar pantai Padang Pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia ini menyimpan sejuta kisah hidup anak anak nelayan yang mungkin tidak banyak orang yang tahu.
Caranya adalah dengan membawa pukat ke laut yang dalam dengan perahu dan kemudian kembali ke pantai dengan membawa tali panjang yang berhubungan dengan pukat tersebut. Mereka sabar menanti sambil melepaskan lelah dengan duduk di bebatuan besar yang dijadikan sarana untuk membentengi pantai dari erosi keganasan ombak.
"Kami ala biaso iduik dilamun ombak," (kami sudah biasa hidup menderita) kata Pak Udin yang kelihatan paling tua di antara mereka. Bagi mereka, hidup itu tak ubahnya bagaikan gelombang air laut yang sesaat melambung untuk sesaat kemudian terempas lagi di tepi pantai.
Belakangan sangat santer terdengar bahwa ada wacana untuk menjadikan cara 'mamukek' ini sebagai bagian dari daya tarik wisata. Namun hingga kini, baru hanya sebatas wacana saja. Salah satu nelayan yang tampak sedang menarik pukat yang ditanyai tentang rencana untuk menjadikan ritual mamukek ini, menjawab, ”Bukan itu yang kami butuhkan, Pak. Yang kami harapkan sesungguhnya adalah agar pemerintah daerah membantu kami dengan jalan mengeruk dasar laut tempat kami mencari nafkah." Karena hal ini sudah lama menjadi impian mereka. Selama ini, kendala yang paling sering mereka temui, di samping kondisi alam yang tidak menentu adalah tersangkutnya pukat mereka, sehingga putus dan rusak. Butuh waktu berhari hari untuk membenahinya dan ini berarti mereka tidak dapat mencari nafkah untuk sementara.
Kesimpulannnya adalah dari pada pemerintah gembar-gembor untuk mengadakan wisata 'Elo Pukek', alangkah baiknya terlebih dulu mengangkat sampah-sampah yang menumpuk di laut, di mana mereka menggantungkan hidup untuk keluarganya.
Untuk menengok secara langung kediaman para nelayan tradisional ini, maka kami diantarkan oleh sahabat kami Alqaf Dharman menelusuri jalanan sempit dan penuh genangan air. Menengok langsung tempat mereka tinggal yang sesungguhnya tidak layak disebut rumah, maka tidak akan tega kita menawar nawar lagi kalau akan membeli ikan yang dijual para nelayan ini.
Satu-satunya rumah makan yang tampak ada di sana hanya menunggu waktu saja untuk terseret oleh ganasnya ombak pantai Padang bila tidak ada tindakan nyata dari pemerintah, karena sebagian besar ruas tanah di sana sudah ambruk, seperti tampak pada gambar.
Tempat-tempat seperti ini, agaknya terluput dari kunjungan Presiden RI Joko Widodo. Mungkin sekali waktu, bila Pak Jokowi datang lagi menyempatkan diri untuk menengok kondisi kehidupan mereka secara langsung.
Rumah makan ini, tentu bukan hanya tempat bergantung kehidupan keluarga pemiliknya, tapi juga menyangkut kehidupan para karyawannya dan juga para nelayan elo pukek. Karena selama ini, hasil tangkapan mereka sudah ada yang menampung, yakni rumah makan ini. Nah, bila terjadi longsor lagi yang sudah di depan mata, ke mana lagi mereka harus menjual hasil tangkapan ikan mereka?
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H