Mungkin saja dalam komunitas dimana kita berada, diri kita adalah orang penting yang selalu mendapatkan tempat duduk paling terhormat. Kata-kata kita ditunggu bahkan mungkin dianggap petuah atau dituakan. Tapi jangan heran bila di lingkungan berbeda kita bukanlah siapa siapa. Bahkan bisa jadi, kehadiran kita tidak disambut secara antusias. Disinilah kita perlu belajar rendah hati dengan menyukuri apa yang sudah dicapai, namun memahami bahwa diluar diri kita masih ada jutaan orang yang jauh lebih hebat daripada diri kita.
Untuk mencegah agar diri kita jangan sampai terperosok pada jalan yang salah, sebaiknya jauhi motivator yang bercerta tentang cinta kasih dalam keluarga, padahal dalam hidupnya istri dan anak anaknya sama sekali tidak merasakan kasih sayangnya. Abaikanlah atau tutuplah telinga bila ada motivator yang mengajarkan tentang bagaimana hidup berbagi, padahal keluarganya terbaring sakit berbulan-bulan tak pernah ditengoknya. Karena dari sumber air yang kotor, mustahil kita akan mendapatkan air yang jernih dan bebas penyakit.
Jauhi orang yang berkotbah tentang persahabatan yang tulus, bila dalam hidupnya memilih teman yang mungkin dapat menguntungkannya secara finansial. Abaikanlah orang yang berpidato tentang cinta tanah air, tentang bagaimana seharusnya membuktikan jiwa nasional namun dalam hidupnya, memperkaya dirinya sendiri, dengan menghalalkan segala cara.
Tutuplah telinga kita, bila ada orang yang berkotbah tentang kasih terhadap sesama dan bagaimana hidup rukun damai dalam keberagaman, bila dalam hidupnya membiarkan pembantunya makan dilantai dapur rumahnya.
Jangan sampai kita terperangkap oleh fatamorgana, seakan ada mata air yang jernih di hadapan kita, karena yang akan ditemukan adalah gurun pasir yang gersang dan mematikan.
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H