Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

"100 Juta Rupiah Uang Recehan? Tapi Bukan untuk Kami" Kata Nenek Halimah

21 September 2016   11:21 Diperbarui: 21 September 2016   14:23 2447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah bagaimana saya bisa kesasar kelorong sempit dan kumuh ini,sungguh saya tidak tahu. Tidak ada penerangan dalam bentuk apapun disana, kecuali bias lampu jalan yang menampilkan keremangan yang membuat bulu tengkuk berdiri. Kok saya bisa sampai kesini? Tanya saya dalam hati. Namun pertanyaan tersebut hanya bergaung dalam relung hati terdalam tanpa ada jawaban . Gerimis yang sesekali disertai guntur dan angin kencang, semakin menciptakan suasana yang mencengkam disini. Mencoba menoleh  dan melirik kesekeliling,tak tampak adanya tanda tanda kehidupan anak  manusia  disana.selain dari alam yang sepertinya sedang bersedih....

Saya melangkah perlahan lahan untuk tidak menginjak genangan air dan bangkai tikus dan binatang melata lainnya yang dengan bebas berkeliaran disana.Bau yang menyengat dan udara yang menyesakan dada. Tiba-tiba hati saya terkesiap. Disudut tembok tampak sesosok wanita yang sedang menyuapi seorang anak. Dengan hati yang berdegub semakin kencang, saya beranikan diri untuk melangkah semakin dekat. ….

“Bu Halimah !”  wanita tua yang pernah memberikan kepada saya sepotong ubi rebus, 51 tahun lalu dalam perjalanan dengan bus ALS dari Medan ke Padang. Tidak percaya akan pandangan mata dan berpikir, mungkin penampakan ini hanya sebuah halusinasi, maka saya mencubit lengan saya sendiri. Dan saya merasa sakit. Jadi  saya tidak bermimpi maupun berhalusinasi.

Dengan sangat hati-hati, saya mencoba menyapa :” Bu Halimah?” … Dan wanita tua itupun berhenti sesaat menyuapi anak tersebut sambil berpaling. Tampak wajahnya yang semakin keriput, namun saya masih menggenal wanita yang telah berbaik hati memberikan saya sepotong ubi rebus ketika saya sedang menderita demam tinggi dalam bus yang sedang melaju. 61 tahun lalu, Bu Halimah tersenyum dan berkata :”Benar Nak,,saya bu Halimah . Kita pernah bertemu didalam bus ALS enam puluh satu tahun lalu”

Jantung saya berdebar semakin kencang. Ternyata benar, saya menjumpai kembali wanita penolong saya walaupun  kami sudah berpisah dan tidak pernah bertemu lagi selama 61 tahun. Padahal saya dapatkan informasi dari salah satu keluarganya, bahwa 5 tahun sesudah perjumpaan kami, Bu Halimah sudah meninggal dunia. Tapi kini kami bertemu lagi.

Bu Halimah terdiam sesaat. Saya melirik ada sisa nasi  didaun pisang ditelapak tangannya  yang gemetaran. Mungkin saja Bu Halimah belum makan, namun menyuapi anak yang berusia sekitar 5 tahun didepannya.

Tiba tiba saya teringat, belakangan ini baik di Tv dan berbagai media, disebutkan bahwa uang 100 juta rupiah cuma uang recehan bagi koruptor. Tapi jelas bukan untuk orang orang seperti bu Halimah ini, yang sudah sangat  bersyukur bila dapat mengumpulkan uang recehan untuk membeli nasi kucing seharga  Rp.2.500 rupiah. Sebuah perbedaan yang teramat mencolok dan melukai perasaan begitu banyak orang seperti Bu Halimah ini.

Kami Sudah Tidak Membutuhkan Uang Lagi

Saya ulurkan tangan kepada istri saya dan istri saya sudah tahu mau saya apa. Membuka tasnya dan menyelipkan sesuatu ditelapak tangan saya. Sesaat kemudian saya melangkah lebih dekat dan berkata pelahan:” Maaf Bu Halimah. Ini ada sedikit bekal. Mungkin bisa Bu Halimah gunakan untuk berbagai keperluan.”

Bu Halimah tersenyum lirih dan berkata ”Terima kasih nak, tapi kami berdua sudah lama tidak lagi membutuhkan yang namanya uang. Kalau bagi orang lain, uang Rp.100 juta rupiah merupakan uang recehan, untuk kami berdua, uang satu milliar juga tidak ada harganya sama sekali. Kami berdua sudah lama terbebas dari rasa sakit dan penderitaan. Disamping kami, ada jutaan orang yang sedang menunggu masa pembebasan mereka dari penderitaan dimana uang sudah tidak lagi berharga bagi orang-orang seperti kami  ini" Kata Bu Halimah sambil terseyum tulus.

Setulus senyumnya ketika 51 tahun lalu memberikan saya sepotong ubi rebus di dalam bus ALS yang sedang melaju dari Medan menuju Padang.

Saya merinding…

Tiba-tiba Bu Halimah menggandeng anak laki-laki tersebut yang kemungkinan adalah cucunya. Melambaikan tangannya dan keduanya raib dari pandangan mata kami. Mereka berdua dan juga jutaan orang lain, sudah berada di dunianya yang lain.Dimana tidak ada lagi yang namanya penderitaaan ,kelaparan dan rasa sakit...........

Sebagai gantinya, di dinding tampak sebuah lukisan tua. Seorang nenek sedang menyuapi cucunya. Saya sungguh tidak mengerti akan arti penampakan ini. Saya jadikan renungan diri untuk introspeksi diri. Mungkin  ada yang mau membantu memberikan jawabannya?

Catatan Penulis :

Foto diatas saya jepret di lorong hotel  Gran Melia, Jakarta. Tidak tampak nama pelukis ,maupun tanda tangan, seperti layaknya sebuah lukisan. Tapi lukisan ini telah  membuat saya merenung untuk instrospeks diri. Cerpen ini saya tuliskan berdasarkan cuplikan kisah hidup nyata.bahwa saya pernah mendapatkan sepotong ubi rebus..dari bu Halimah...Dan ubi itu tetap awet dan hangat,kendati 51 tahun sudah berlalu...

Gran Melia Hotel, 21 September, 2016

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun