Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kompasiana Terapkan Hidup Berbagi

31 Agustus 2016   12:22 Diperbarui: 1 September 2016   18:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keterangan foto: Thamrin Sonata, Dew Puspasari,.Setyaningrum, Hamdanul Fain, Axtea,Yos Mo,Tjiptadinata Effendi,Roselina, Syifa Annisa,Tamita Wibisono,Indria Salim dan Widha (Admin) Dibarisan depan adalah: Rifki Feriandi,Uwan Urwa,Riap Windhu.Sedangkan mas Yacob (Admin) tidak tampak,karena bertindak selaku fotographer,(tjiptadinata Effendi)

Berawal dari chatting dengan COO Kompasiana Pak Pepih Nugraha tentang thema Kompasianival mendatang , yakni Hidup Berbagi, berlanjut dengan komunikasi via japri dengan mas Kevin, yang mengelolah kegiatan komunitas di Kompasiana. Terus bertubi tubi, artikel tentang Ngoplah unik ini dari highlight langsung ke Headline. Dan tidak kepalang tanggung, di Headline kan tiga kali berturut turut. Sebuah apresiasi yang tak ternilai, betapa hasrat hati untuk berbagi ilmu ternyata disambut dengan sepenuh hati.

Dan ibarat pemain bola yang handal tentu tidak mungkin Mas Kevin mengiring bola sendirian dan menggoalkan seorang diri. Maka  Kevin yang berbadan layaknya bodyguard ini, mengover bola ke Mbak Widha, Komunikasi beralih dari Kevin ke Mbak Widha dan disambut dengan spontan dan sangat santun, serta antusias. Intinya ”Siap membantu apa saja yang diperlukan untuk persiapan Seminar Terapi Bioenergi, sebagai salah satu cara menerapkan hidup berbagi.

“Pak Tjip, kami sudah siapkan ruangan dengan kapasitas tempat duduk untuk 30 orang.”, konfirmasi dari mbak Widha.  “Seandainya saya terlambat, ada mbak Nindy yang akan menemani”

Siip lah, saya pikir dalam hati dan mantap menanti hari H nya yakni tanggal 30 Agustus 2016. Jam 7.45 pagi kami sudah berangkat dari apartement mini kami di bilangan Kemayoran dengan taksi. Maksudnya mengantisipasi kemacetan.

“Pak kita masuk toll saja ya agar tidak macet,” kata sopir taksi yang membawa kami. “Oke “ jawab saya. Dan  meluncurlah taksi dan memasukki ruas jalan toll. Tapi ternyata dugaan meleset, karena ternyata di toll justru macet total.

Syukurlah jam 9.30 kami tiba di Gedung Kompas Gramedia, langsung ke lobby untuk melapor. Tapi setelah tahu bahwa kami yang akan membawakan acara lokakarya, si mbak resepcionist dengan santun mengantarkan kami tanpa harus pasang name tag seperti lazimnya dan tidak harus meninggalkan ktp.

Kompasiana Memang Bukan Noise

Ketika memasukki ruang full ac yang disediakan oleh Kompasiana, sudah ada beberapa rekan Kompasianers yang menunggu. Ada rasa haru yang mendalam,mendapatkan respon yang begitu luar biasa, antara lain:

Sambutan sangat antusias untuk saling berbagi dari Admin Kompasiana

  • Menempatkan rencana kegiatan ini di HL ,3 kali berturut turut
  • Menyediakan ruangan yang full ac
  • Menyediakan kusi sebanyak 30 seat
  • Air minum mineral lebih dari cukup

Sambutan hangat dari Mas Kevin, Mbak Widha, Mbak Nindy, Mas Yacob dan terahir sebelum pulang, kami ditemui oleh mas Isjet dan mbak Nurhasanah. Sementara Pak Pepih masih di Makasar dan Mas Nurul Uyuy masih di Singapore.

Mas Yos Mo yang bolak balik menjadi asistten pribadi sewaktu berlangsungnya lokakarya.

Mengenai jalannya lokakarya, sudah ditulis oleh  rekan kita Dewi Puspasari sehingga tidak perlu saya ulangi lagi disini. Sebuah momentum yang sungguh tak ternilai. Dari hanya berkenalan di dunia maya ketemu dan dalam sehari, kami sudah menjalin hubungan persahabatan. Serasa bagaikan sudah lama sekali, kami sudah saling kenal.

Saya jadi ingat, salah satu artikel dari Pak Pepih Nugraha yang berjudul: Penulis Warga Pun Paham soal "Noise" versus "Voice" di Media Sosial.

Kegaduhan di media sosial sering dianggap "noise" atau kegaduhan yang tidak berguna, "ecek-ecek" dan nggak penting sama sekali. Sementara yang termuat di media arus utama, yakni konten yang dibuat oleh wartawan profesional, sering dianggap sebagai "Voice" yang bermanfaat bagi pembacanya. Karenanya "Noise" dipertentangkan dengan "Voice".  Sayangnya "Noise" selalu berkonotasi negatif, sedangkan "Voice" terdengar positif. "

Sementara itu di alinea lain, yang saya kutip sebagian adalah  Boleh saja mengatakan media sosial sebagai "Noise" dan media arus utama adalah "Voice", namanya juga pendapat. Persoalannya, bagaimana mungkin lebih dari separuh warga dunia sekarang sudah berada di Internet, tempat di mana kegaduhan alias "Voice" bermuasal? 

Bagaimana Anda bisa menawarkan media lama dengan tawaran slogan kejayaan masa lalunya jika 50 juta dari 70 juta pengguna Internet Indonesia sudah berada di benua besar bernama Facebook? Dan jangan abaikan juga, 300.000 lebih warga sudah tercatat sebagai users member Kompasiana dan 300.000 hingga 500.000 orang membaca Kompasiana setiap hari! Apa yang harus Anda lakukan, wahai para petinggi media massa arus utama yang mengatakan media sosial adalah "Noise"

Pada hari ini, tanggal 30 Agustus 2016 dalam ruangan pertemuan di Gedung Kompas Gramedia, sungguh-sungguh saya merasakan dan mengalami  bahwa Kompasiana itu bukan noise, tapi “voice”.

Terima kasih kepada Kompasiana, terima kasih kepada teman-teman semuanya yang telah bersama sama sudah membuktikan bahwa tidak sia sia kita bergabung di sini. Karena bukan hanya saling berbagi tulisan, melainkan dapat saling berbagi ilmu. Dan tidak kurang pentingnya adalah menjalin hubungan persahabatan.

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun