Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

1949 Pemuda Payakumbuh Membasuh Kemerdekaan dengan Darah Mereka

4 Agustus 2016   21:23 Diperbarui: 4 Agustus 2016   21:26 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Menyongsong Hari Raya Kemerdekaan R.I yang ke 71, generasi muda Indonesia perlu tahu,bahwa  walaupun kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus,tahun 1945 oleh Sukarno -Hatta,bukan berarti perjuangan sudah selesai..Salah satu buktinya adalah saksi bisu ,nisan masal di kota kecil Payakumbuh,seperti yang dapat dibaca pada gambar terposting*

Disini pada tahun 1949 -

gugur para pemuda pejuang 

demi pembebasan negeri ini.-

merdeka dari belenggu penjajah- 

ratapan ibu mengiringi kepergiannya

1945 Indonesia Merdeka,Tapi 1949  Pemuda Payakumbuh Masih Tumpahkan Darah

Generasi muda kini,banyak yang berpikir,bahwa setelah Kemerdekaan Indonesia di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus, tahun 1945  Indonesia sudah merdeka secara total. Semua sudah aman dan tidak ada lagi yang tewas,demi untuk negeri yang dicintainya.

Mungkin perlu sesekali ditampilkan dalam berbagai sudut, tentang sejarah yang sesungguhnya, bahwa kendati secara resmi Indonesia sudah merdeka,tapi sesunggunya perjuangan masih belum selesai. Kemerdekaan Indonesia,masih harus dicuci bersih dengan darah anak anak bangsanya dari berbagai daerah. Dan hal ini tentu jangan sampai dilupakan.

Salah satunya, dapat dibaca pada tulisan di Jembatan Ratapan Ibu , yang menjadi saksi bisu, bahwa 4 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I para pemuda di kota kecil yang bernama Payakumbuh ,di propinsi Sumatera Barat, masih terus merenggang nyawa, di tembak oleh pasukan Belanda.

Saksi Bisu yang bernama :”Ratapan Ibu” ini  berlokasi di jalan Achmad Yani, di kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Jaraknya dari Padang adalah sekitar 3 jam berkendara, walaupun sesungguhnya jaraknya hanya sekitar 125 kilometer.Tapi karena ruas jalan sempit, maka kendaraan hanya dapat melaju dengan kecepatan rata rata 40 Km perjam..

Jembatan ini dibangun pada tahun 1818. Memiliki panjang 40 meter dengan arsiktektur gaya tempo doeloe.Dibangun tanpa konstruksi dari besi beton Melintang tepat diatas sungai Batang Agam. Sekaligus menghubungkan antara Pasar tradisional Payakumbuh dan Nagari Batang Tabik.

batang-agam-tjiptadinata-effendi-57a34eecbb22bd811a599e8e.jpg
batang-agam-tjiptadinata-effendi-57a34eecbb22bd811a599e8e.jpg
Jembatan Yang Bersimbah Darah Para Pahlawan Ratapan Ibu ini menjadi terkenal, karena merupakan saksi bisu dari sejarah perjuangan anak anak bangsa di kota kecil ini. Dimana mereka yang tertangkap, dijejerkan dipinggiran Batang Agam. Ditembaki dan kemudian tubuh tubuh mereka terkulai dan terlempar kedalam sungai ini.Sementara ibu ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan mereka, hanya bisa pasrah meratapi putra putra tercinta mereka dicabik cabik peluru penjajah 

Dibatu nisan masal ini,walaupun sudah dimakan jaman, namun masih dapat terbaca dengan jelas ,kalimat yang membuat seluruh tubuh kita merinding:  Inilah inti kisah kepahlawanan yang sudah terpateri sejak tempo doeloe hingga kini, dihati warga setempat.

Catatan penulis:

Kisah kisah ini, sudah saya dengarkan sejak kanak kanak,karena ayah saya almarhun di lahir kan dipinggiran kota Payakumbuh ini, yang bernama Labuah Basilang..Sekolah di Madarasah dan besar dalam lingkungan ini.

Tulisan kecil ini ,dituliskan dalam rangka menyambut hari kemerdekaan ke 71 ,sekedar menjadi pengingat bagi generasi muda Indonesia, bahwa 17 Agustus 1945 memang Kemerdekaan Indonesia sudah di Proklamasikan oleh Sukarno –Hatta. Namun kemerdekaan ini,masih terus dibasuh oleh darah para pemuda bangsa,hingga tahun 1949. Dan salah satu diantara kisah kisah sedih ini, terjadi di kota kecil Payakumbuh- Sumatera Barat (foto foto : dokumentasi pribadi)

Tjiptadinata Effendi 04/08/16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun