foto : Museum Adityawarman di kota Padang/foto : tjiptadinata effendi
Kota Padang, 97 persen penduduknya beragama Islam. tapi disana ada beberapa buah gereja Katholik dan Kristen ,serta wihara dan Kelenteng, Setiap bulan puasa di jalani dengan penuh kedamaian, Yang puasa tetap puasa tanpa terganggu, yang tidak berpuasa, boleh tetap makan seperti biasa. Ada toleransi dan saling menghargai ,yang tidak perlu diatur atur oleh perda atau aturan manapun.Semua berjalan secara alami*
Belajarlah Ke Padang, Bagaimana Hadapi Bulan Puasa Dengan Damai
Kedua orang tua saya almarhum lahir dan dibesarkan disebuah kampung yang bersama Labuah Basilang, Berlokasi di kota Payahkumbuh,yang menjadi ibu kota kecamatan lima puluh koto. Sekolah di Madrasah  ,seperti hal nya anak anak kampung lainnya.
Saya sendiri lahir di Padang, pada waktu jaman Jepang, sebelum Indonesia merdeka. Â Praktis kami sama sekali tidak merasa sebagai orang asing di kampung halaman sendiri .Dan yang tak kalah pentingnya adalah kami tidak pernah merasa diperlakukan sebagai orang asing oleh lingkungan.,karena sudah berbaur puluhan tahun lamanya.
Setiap bulan Puasa,kami sambut bersama sama ,dengan saling menghargai ,tanpa perlu disuruh suruh,apalagi sampai diatur begini dan begitu oleh pemerintah setempat.
Heran dan Bingung  Bulan Puasa Koq Malah Heboh?
Alangkah heran dan bingungnya saya, ketika pindah ke Jakarta pada tahun 1990, setiap bulan Puasa,selalu diiringi dengan hal hal yang  menodai suasana, dimana seharusnya orang dengan tenang menjalani ibadah.
Di Kota Padang, Sumatera Barat, menyambut bulan puasa, tak ada suara berisik dan  kehebohan tentang buka tutupnya warung di bulan puasa. Masyarakat di kota Padang  sudah membaur dan saling menghormati. Dalam kehidupan sehari harian, kami mengunakan bahasa Padang,termasuk yang disebut sebagai non pribumi. Silakan ditengok di daerah Pondok ,Kampung Tionghoa, setiap pagi , di kedai kopi warga Padang sarapan sate Padang dan minum kopi bersama sama. Tidak ada sekat ,apalagi sampai saling mencurigai.
Dan bila tiba bulan puasa, rumah makan dan kedai kopi, serta semua warung , selalu mengunakan kain penutup. Kalau dihari hari biasa,masakan dipajang secara terbuka di belakang kaca yang transparan,setiap bulan puasa ,semua sudah ditutupi dengan kain gorden,sehingga tidak tak lagi tampak dari luar.Bagi yang menjalankan ibadah puasa tetap menjalankan tanpa terganggu ,sedangkan yang tidak berpuasa, dapat menikmati makan siangnya ,dengan tenang,
Tidak Perlu Perda Perdaan .Apalagi Sweeping Segala
Oleh karena itu sejak  pindah ke Jakarta, walaupun saya non  Muslim,tapi cukup mengalami cultural shock  dan merasa sangat risih,juga,karena setiap bulan Puasa ,selalu diikuti dengan heboh sana sini.Tentu saja sebagai orang yang tidak ikut berpuasa, tidak berhak memberikan penilaian apapun.
Hanya merasa aneh saja, Kalau di Padang orang dapat menghadapi bulan puasa dengan damai dan tanpa gangguan apapun, mengapa dikota lain tidak bisa? Â Di Padang tidak perlu Perda Perdaan, apalagi sampai sweeping, Karena warganys sejak dulu,hidup rukun dan damai. Saling menghargai dan saling menghormati.
Di Kompasiana ada puluhan orang Padang yang menjalani Ibadah Puasa.Bila tulisan ini ada yang tidak benar, tentu dapat mengoreksinya.  Kami berbeda dalam cara beribadah,tapi kami sepakat dalam hal saling  menjaga ,saling menghargai dan saling menghormati.
Iluka, 14 Juni, 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H