Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masyarakat Ikut Bertanggung Jawab Secara Moril!

25 Mei 2016   13:10 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:20 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apa yang dituliskan hari ini, akan jadi prasasti atas harkat diri serta  jadi warisan  bagi  anak cucu kita kelak" (tjiptadinata effendi)

Masyarakat Ikut Bertanggung Jawab Secara Moril!

Masyarakat ikut bertanggung jawab secara moril dalam berbagai tindak kekerasan dan kejahatan yang terjadi dimana-mana. Banyak orang yang sambil baca koran atau nonton televisi memberikan komentar, bagaikan innocence person. Antara lain:” Guru hanya kejar  tayang atau orangtua tidak mendidik anak dengan benar!” Masih ditambah lagi ”Aparat tidak becus atasi tindak kekerasan.”

Apapun yang dilontarkan, baik secara verbal  maupun tertulis,intinya adalah ”Saya tidak sama sekali tidak bertanggung jawab. Bukan anak saya, bukan anggota keluarga dan juga bukan murid saya!”

Jujur pada Diri Sendiri

Masyarakat harus jujur pada diri sendiri untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang bermanfaat, agar dengan bekerja sama, dapat mengatasi  atau setidaknya meminimalkan tindak kekerasan dan kejahatan.

Cobalah dengan membuka hati kita telusuri sejak dari hal hal kecil, dimana masyarakat hanya menjadi penonton  dan membiarkan terjadinya perilaku yang keliru. Dimulai dari hal-hal kecil, misalnya menengok anak-anak mencuri mangga atau jambu tetangga, masyarakat hanya diam. Dengan pemikiran  ” Biar saja, toh yang  dicuri mangga atau jambu kepunyaan orang kaya”

Suatu waktu ketemu ada anak yang dikeroyok anak-anak lainnya, namun  sekali lagi masyarakat hanya bersorak dari jauh:” Hai, hai sudah berhenti jangan berkelahi.” Namun tidak sungguh-sungguh hati ingin menghentikan pengeroyokan tersebut. Karena alasan yang sama dengan contoh pertama, yakni  ” yang dikeroyok anak orang kaya, biar tau rasa!”

Sedang berbelanja di pasar, tiba-tiiba ada remaja yang dikejar dan diteriakan :” Copet... copet” dan sang pencopet  terjerembab jatuh. Dan masyarakat disekitarnya ikut bersorak:” Hajar sampai mampus…jangan dilepasin!” 

Alangkah kejamnya, walaupun jelas  sekecil apapun kesalahan, apalagi mencopet adalah tetap sebuah kejahatan harus tetap dihukum. Tapi tidak diinjak-injak sampai muntah darah. Padahal ditangan si remaja ada dompet berisi recehan 5 ribu rupiah sebanyak 2 lembar.

Candaaan yang Keliru

Ketemu teman lama yang menjadi kepala seksi atau kepala bidang disalah satu instansi pemerintah. Maka yang pertama ditanyakan adalah” Mobilnya kok cuma ini? hahah apa saja kata dunia!”

Hanya bercanda, namun merupakan candaan negatif, karena secara tidak langsung mendorong orang untuk melakukan tindak korupsi untuk mengganti kendaraannya, agar jangan sampai berulang kali ditertawakan teman-teman.

Candaan  Porno

Tidak sedikit orang “terhormat’ dan terdidik yang hanya untuk memancing  perhatian orang, melemparkan humor humor kumuh. Dan anehnya yang hadir malah menyambutnya dengan suara ketawa terbahak-bahak. Bahkan yang lebih memalukan,sebagian  dari kaum wanita ikut mengambil bagian dan tertawa. Seakan sesuatu yang porno itu adalah wajar-wajar saja untuk menunjukkan bahwa orang sudah dewasa.

Tidak hanya di dunia  nyata, tapi silakan ditengok sendiri, di dunia maya setiap tulisan yang berbau pornografi akan dibaca ratusan ribu orang. Bahkan tidak sedikit yang ikut mengomentari dengan kata-kata yang membuat kita malu. Candaan keliru dan candaan kumuh secara langsung ataupun tidak ,seakan merestui, bahwa pornografi adalah hal yang biasa bagi orang dewasa!

Bukan Sok Alim dan Sok Soleh

Berbuat seolah-olah orang sok saleh dan sok alim adalah sebuah kemunafikan. Namun ada koridor dan kesantunan, dimana nilai-nilai dan harkat kemanusiaan kita dipertaruhkan. Coba bayangkan andaikata tulisan atau komentar jorok kita di copy paste dan dipertontonkan didepan anak cucu, mantu dan keluarga kita. Jangan lupa, sebuah tulisan yang kita tayangkan ,kendati “hanya” dalam bentuk komentar adalah merupakan prasasti harkat diri yang kita pahat sendiri. Tulisan ini akan abadi, hingga akhir hayat kita.

Tulisan ini sama sekali jauh dari maksud menggurui, namun sebagai manusia kita patut saling mengingatkan agar jangan semakin jauh terperosok kedalam lubang yang kita gali sendiri.

Iluka, 25 Mei, 2016

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun