Australia butuh waktu lebih dari satu abad untuk dapat memutuskan meminta maaf secara resmi atas terjadinya tragedI kemanusiaan yang dikenal dengan istilah 'Stolen Generation' atau 'Generasi Terampas'.
Perjalanan panjang penistaan atas nilai-nilai luhur manusia yang telah dinodai selama berpuluh-puluh tahun, yakni sejak awal abad ke 19 hingga tahun 1970, baru diakui secara resmi oleh Pemerintah Australia. Untuk mana pada tanggal 13 Februari tahun 2014, pemerintah melalui Perdana Menteri Kevin Rudd menyampaikan permohonan maaf kepada warga Australia dari suku Aborigin. Hal ini disampaikan Kevin, saat berpidato di hadapan Parlemen Australia di Canberra pada hari Rabu ,tanggal 13 Februari tahun 2014.
Australia diyakini bertanggung jawab atas kebijakan yang disebut 'lost generation' atau 'stolen generation' yang terjadi dan berlangsung antara tahun 1910 sampai 1970-an. Dengan mengambil paksa100 ribu anak berdarah campuran Aborigin dari keluarga mereka, untuk dididik oleh negara
Sebagai tindak lanjut permohonan maaf ini, pemerintah Australia telah mengembalikan apa yang menjadi hak-hak kaum Aboringin, bahkan memberikan mereka beragam fasilitas sebagai upaya tebus dosa pemerintah terhadap kesalahan kebijakan yang telah dilakukan.
Kalimat yang disampaikan pada waktu itu antara lain 'meminta maaf' atas hukum dan kebijakan sejumlah parlemen dan pemerintahan yang telah mengakibatkan kesedihan, penderitaan, dan kehilangan yang luar biasa bagi kaum Aborigin dan keturunan mereka.
Kalau Australia butuh waktu lebih dari satu abad, maka pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo, mengambil kebijakan setelah berlangsung tragedi ini 13 Mei 1998 , menyatakan secara tersirat permintaan maaf setelah 17 tahun terjadinya tragedi. Yakni pada tanggal 13 Mei 2015, meresmikan Prasasti Tragedi Mei 1998, yang peresmiannya diwakili oleh Gubernur DKI.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan dengan judul, “Sujud di Hadapan Korban Tragedi Jakarta Mei 1998,” setidaknya ada 1.217 jiwa yang meninggal, 91 orang luka, serta 31 orang hilang akibat Tragedi Mei yang terjadi pada 13 hingga 15 Mei 1998.
Banyak yang Tidak Puas
Walaupun banyak orang, terutama keluarga korban menyatakan ketidakpuasan atas 'permintaan maaf' dengan cara ini dan menuntut kejelasan dan diseretnya dalang tragedi dip engadilan. Namun tidak mungkin secara serta merta harapan tersebut dipenuhi oleh Jokowi mengingat mata rantai yang begitu kokoh, masih berada dalam genggaman perancang tragedi ini, yang kendati sudah tidak lagi memegang tongkat komando, namun masih tetap merupakan”untouchable men”.
Jokowi walaupun Presiden, tidak memiliki kekuatan sebagai single fighter untuk mengatasi semuanya. Perlu dukungan dari berbagai pihak, karena yang dihadapi adalah ahli strategi perang kaliber dunia.
Kita berharap dan berdoa, semoga ada jalan pintas untuk Pemerintahan Joko Widodo menemukan peluang untuk menyeret dalangnya dan menghukum mereka atas tragedi kemanusiaan Mei 1998 yang bukan hanya sudah menodai sejarah bangsa, tetapi sekaligus memecah belah Bangsa Indonesia.
Tjiptadinata Effendi / 13 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H