Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Contoh Kasih Tanpa Pamrih

21 April 2016   18:32 Diperbarui: 21 April 2016   18:45 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan beralaskan jaket lusuh ,saya mencoba tidur.Ada ketakutan yang luar biasa dalam diri saya. Pikiran saya kalut dan menerawang jauh, Seandainya saya meninggal di perjalanan…saya tidak pernah lagi bertemu dengan wanita yang paling saya cintai ,yakni istri saya Lina, Pikiran ini semakin membuat saya dicekam rasa takut yang luar biasa..Kemudian saya tidak mendengar suara apapun lagi,,,,,,

Saya tidak tahu apakah saya tertidur atau pingsan dan entah berapa lama….Baru tersentak ,ketika kembali suara bu Halimah terdengar,sambil menarik narik tangan saya… :” Nak,bangun,,,bis sudah mau berangkat..ntar kita ketinggalan….”

Makanan dari Surga

Tangan saya dituntun untuk naik ke saya masih merasa kedinginan dan mengigil. Mungkin kelamaan tertidur dialam terbuka,dalam kondisi demam. "Nak, tadi waktu berhenti,ibu sempat beli 2 potong ubi rebus dirumah penduduk ,,karena disekitar sini tidak ada warung.. Masih hangat,nih dimakan ya"

Tangan saya gemetar , menerima dengan perasaan galau,karena memang saya sangat lapar. Makan ubi rebus hangat hangat dalam kondisi perut lapar, ternyata nikmatnya luar biasa.bagaikan makanan dari surga.

Selesai makan,ubi ,tubuh saya agak mendingan, Tiba tiba saya ingat, mungkin bu Halimah tidak banyak bawa uang .dan tadi sudah dibelikan ubi untuk saya.Maka saya keluarkan selembar uang dari dompet dan menyerahkannya, “Maaf ya bu, ini sekedar pengganti beli ubi tadi”..

Kasih Tanpa Pamrih

Tapi wanita ini memandang wajah saya dan berkata perlahan:” Nak, jujur,ibu memang tidak banyak bawa uang. Tapi ibu ikhlas memberikannya ,Dalam hidup ini, tidak semua harus dihitung dengan uang nak”, kata bu Halimah

Mata saya berkaca kaca. Sangat terharu, Padahal keadaannya  tidak lebih baik dari diri saya.

 Dada saya sesak oleh berbagai perasaan : terharu ,kagum dan merasa diri saya amat kerdil.Karena saya telah menilai sebuah pemberian yang tulus dengan selembar uang.Tapi saya tidak bisa berpikir lebih jauh, rasa dingin yang merasuk hingga ketulang sumsum,mual ,pusing dan demam, seperti serentak hinggap pada saat yang sama.

Saya mencoba tidur lagi. Tapi saya sama sekali tidak bisa tertidur. Rasanya saya ingin terbang untuk kembali ke Medan ,agar bisa dekat dengan istri  Saya bertambah gelisah dan panik.. "Nak,cobalah tidur,jangan kuatir, ada ibu disini" ..Serasa ingin  saya memeluk Ibu Halimah ini, sepertinya kasih sayang ibu saya hadir didalam dirinya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun