Terus terang secara umum, adalah sifat seorang ksatria. Dalam berprilaku yang berterus terang, ada kadar kejujuran di dalamnya. Kalau kita yang berbuat salah, maka secara terus terang kita akui. Minta maaf dan mengganti bila ada sesuatu yang dirusakkan. Berterus terang tentang diri kita tentu saja sebuah langkah yang sangat positif, sehingga orang tidak pernah merasa menyesal bersahahat dengan kita.
Berterus terang, bahwa kita berasal dari keluarga miskin dan pernah menekuni pekerjaan sebagai buruh, juga tidak menjadi masalah. Secara tidak langsung kita ingin menampilkan :" inilah diri saya yang sesungguhnya" Tidak ada yang disembunyikan dan tidak ada yang dimanipulasi.
Namun terus terang ini, tentu tidak dapat dijadikan takaran dalam memberikan penilaian terhadap orang lain. Walaupun hidup itu penuh dengan penilaian-penilaian. Namun perlu ada kearifan hidup dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu yang berada di luar diri kita.
Karena hidup itu tidak dapat dipatok berdasarkan hitam dan putih. Dan juga tidak dapat dimatematikakan. Karena hidup bersifat dinamika, yang bergerak dari waktu ke waktu dan dari satu kejadian pada kejadian lainnya. Apa yang bagus dan baik menurut kita, belum tentu bagus dan baik juga bagi orang lain.
Oleh sebab itu sifat terus terang yang mungkin kita miliki, tentu harus diterjemahkan secara arif dan bijak. Agar jangan sampai sifat terus terang ini, menyebabkan orang lain terluka. Kita dapat saja bersikeras mengatakan: ”memang dari sononya saya begitu. Saya orang yang suka berterus terang dan tidak suka berdiplomasi!”
Tentu saja ini adalah hak kita, namun menerapkan apa yang menjadi hak kita, tentu tidak harus dengan melukai perasaan orang lain.
Contoh Contoh Kehidupan:
Kita diundang makan di restoran. Selesai makan, sahabat yang mengundang berbasa-basi menanyakan: ”Gimana tadi masakannya?”
Nah, karena bangga dengan sifat ”terus terang” yang dimiliki, terus mulut kita mencerocos ”aduh, maaf, saya tidak suka, terlalu asin. Rasanya gimana tuh!” Gimana kira-kira perasaan sahabat yang mengundang kita?
Atau bertemu dengan sahabat lama , yang sedang berjalan dengan istrinya. Sambil bersalaman, sahabat kita memperkenalkan istrinya ”kenalkan, ini istri saya”
Nah, sekali lagi, karena merasa sejak dari sononya terlahir sebagai orang yang suka berterus terang, langsung saja mulut kita mencuapkan kalimat ”Oooh istrinya...hmmm tadinya saya kira ibu kamuu”
Bisa dibayangkan, akibat egoisme kita berbangga diri sebagai orang yang suka berterus terang, kita sudah melukai hati sahabat kita. Maka pertemuan antara sahabat lama, yang seharusnya merupakan momentum mengembirakan, sudah secara serta merta terpupus dengan sikap dan ucapakan kita yang “terus terang.”
Kalau Tidak Bisa Menyenangkan, Janganlah Melukai Hati Orang
Sesungguhnya prinsip hidup itu tidak usah mencontoh pakar pakar dunia, yang membahas tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan sosial kita. Dengan falsafah hidup yang sangat sederhana, kita sudah dapat melangkah dengan mantap, meniti jalan hidup di Universitas Kehidupan ini. Yakni ”kalau tidak dapat menyenangkan, janganlah melukai hati orang.”
Bila tidak dapat memberikan komentar yang positif, lebih baik memilih berdiam diri. Dalam hal ini mungkin berlaku ”Silent is Gold” daripada kita asmong atau asal ngomong, yang melukai hati orang. Bila tidak dapat meringankan beban orang, jangan pula membebani. Bila terlalu berat untuk memberikan sepatah kata pujian, tidak perlu menggantinya dengan sebuah cercaan.
Jangan lupa, hidup Cuma sekali. Buatlah menjadi berarti. Sehingga kelak nama kita akan tinggal dalam kenangan manis orang banyak.
Harimau mati meninggalkan belang, manusia hendaknya meninggalkan kesan yang indah.
Wollongong, 7 April 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H