[caption caption="3 in 1 berlaku, sama sekali tidak mengurangi kemacetan di DKI /foto: tjiptadinata effendi"][/caption] Mengapa Sistem 3in 1 di DKI Perlu Dihapus?
Daerah (Perda) No.12 Tahun 2003 tentang three in one, perda ini bertujuan mengurangi tingkat kemacetan dan mengurangi jumlah kendaraan di Jakarta, khususnya pada jam-jam tertentu dan titik-titik tertentu. Karena jalur tersebut merupakan jalur padat kendaraan.
Sehingga untuk melintasi jalur tersebut, pengendara roda empat diwajibkan berpenumpang paling sedikit tiga orang. Aturan ini berlaku mulai pukul 07.00 hingga 10.00 WIB pagi, dan sore hari pada pukul 16.00-20.00 WIB.
Akan tetapi dalam waktu cepat, peraturan ini, berubah arah dan justru membuka kesempatan bagi warga Jakarta untuk mengais rupiah ,dengan menjadi penumpang bayaran alias joki. Hal ini menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan, sehingga bertahun tahun . Disatu sisi, adanya keprihatinan terhadap banyaknya warga miskin di DKI yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan, maka “profesi Joki” memang bisa menjadi “solusi” saat melewati jalur 3 in 1. Sementara itu para pengemudi kendaraan roda empat,selain taksi "tertolong" dapat memenuhi kewajiban terhadap 3 in 1 dengan melakukan pelanggaran, yakni mengambil penumpang (joki) di sembarangan tempat.
Sesuatu yang ironis memang, satu sisi memenuhi aturan ,namun dengan melakukan pelanggaran lainnya, yakni tentang keselamatan penumpang. Jujur, saya sendiri sebagai warga DKI tidak dapat mengelak,untuk tidak ikut ikutan melanggar aturan dengan "menyewa" joki. Karena memang kami harus berangkat pagi pagi.
Namun disisi lain, “solusi “ ini menciptakan beragam kerawanan,antara lain:
- Berkeliarannya para joki, terutama wanita yang mengendong bayi,.
- Mereka berjejer disetiap sudut jalan yang mengarah ke jalan dimana diberlakukan 3 in 1
- Berebutan naik, bila ada kendaraan yang stop,tanpa memperdulikan keselamatan
- Gaya dan cara ini, mengundang bahaya bagi pengguna jalan lainnya.
- yang merusak wajah DKI, sehingga menimbulkan image negative bagi pendatang, khususnya wisatawan mancanegara
- Lebih parah lagi belakangan ketahuan bahwa terjadi eksploitasi ,karena bayi bayi tersebut di sewa pagi dan sore ,sesuai jam three in one diberlakukan
- Penggemudi menjadi was was ,disatu sisi tidak ada pilihan harus memasuki daerah 3 ini 1, sedangkan disisi lain,sesungguhnya merasa tidak nyaman harus mengangkut joki
- Sering semacam pemerasan, joki pria tidak mau turun bila jumlah uang diberikan tidak sesuai
- Kesempatan petugas untuk “menilang” pengemudi, karena menurunkan joki ditempat yang tidak seharusnya
Namun karena tidak menemukan jalan lain, maka penggunaan joki,menjadi tradisi bertahun tahun.
Rencana Penghapusan 3 in 1
Rencana Gubenur DKI untuk menghapuskan system 3 in 1 yang selama bertahun tahun, tepatnya sejak diberlakukannya perda ini pada tahun 2003, menghadirkan pemandangan yang memberikan image negative bagi DKI sebagai ibu kota negara Republik Indonesia.
Jelas alasan : ”demi kemanusiaan” untuk menjadikan daerah 3 in 1 ini menjadi :”industri “ lapangan pekerjaan bagi warga miskin DKI sangat tidak tepat. Karena sangat membahayakan para joki, terutama wanita yang mengendong bayi. Yang karena mengejar kendaraan yang akan membayar mereka, melupakan keselamatan diri dan keselamatan pengguna jalan lainnya.
Walaupun belakangan Petugas Dinas Sosial (Dinsos) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melakukan penertiban terhadap joki 3 in 1 ,juga sangat tidak efektif, disamping menimbulkan pemandangan yang tidak sedap, menengok para joki di uber uber seperti mengejar maling,
Rencananya sebagai solusi pengganti three in one ,yang jelas jelas tidak efektif dan berpotensi mendatangkan bahaya,maka pemerintah sudah merencanakan penerapan ERP
ERP adalah singkatan dari Electronic Road Pricing, yang masih dalam tahapan persiapan. Sementara itu, ada 600 unit bus yang disumbangkan oleh Kementerian Perhubungan ,akan dikerahkan untuk menjadi salah satu sudut solusinya.
Sebagai warga DKI dan ber KTP DKI, saya merasakan betapa system 3 in 1 yang selama ini diberlakukan disamping sama sekali tidak efektif, sekaligus menciptakan terjadinya berbagai kerawanan. Keprihatinan terhadap warga miskin di DKI yang tidak mendapatkan lowongan pekerjaan, tidak secara serta merta dapat menjadi alasan untuk menjadikan daerah 3 in 1 ini,sebagai: ”kawasan industri” yang memproduksi para joki.
Perlu solusi lain yang lebih aman dan manusiawi, bagi para joki ini, ketimbang dibiarkan berlari lari dijalan raya sambil mengendong bayi, yang sangat rawan terhadap keselamatan diri mereka. Apalagi mengejar ngejar para joki ini, seakan mereka adalah maling yang perlu ditangkapi jelas sangat bertentangan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab
Artikel ini merupakan suara seorang warga DKI yang sejak tahun 1990 tinggal di salah satu apartment mini di bilangan Kemayoran Jakarta Pusat
02 Maret, 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H