Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Hidup Kita Jadi Olok Olokan Orang

9 Februari 2016   09:53 Diperbarui: 9 Februari 2016   10:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

keterangan foto: di kapal Volendam dalam perjalanan ke Alaska

Hidup itu tidak selalu mulus dan lurus. Terkadang berkelok-kelok, licin, terjal dan curam. Malahan tidak jarang, sudah hati-hati, sudah kerja keras, sudah berdoa, toh masih juga tergelincir dan jatuh. Nah, disaat saat kita jatuh dan dalam kondisi keterpurukan, terjadilah proses pembedahan batin yang teramat sulit dilalui. Teman-teman, bahkan sahabat baik dan kerabat yang biasa sangat dekat dan menghormati kita, secara berangsur menjauh dan menghilang.

Bahkan telpon kita berkali kali tidak lagi dijawab dan ketika kita berkunjung kerumahnya, pembantu yang biasa langsung membukakan pintu untuk kita, kini akan bersikap lain, ”Maaf ya, bapak lagi tidur, tidak bisa diganggu”

Dan ketika suatu saat, telpon tersambungkan, maka jangan harap sahabat baik kita selama ini akan menyapa seperti biasa: ”Haloo apa kabar? Ntar malam kita makan bersama yaa?“ Hmm, jangan mimpi, karena jawabannya sangat dingin melebihi musim dingin di Himalaya. “Halo, apa kabar?“ Dan hanya berbicara basa basi satu dua kalimat untuk kemudian memutus pembicaraan dengan mengatakan: ”Aduh, maaf ya, ada tamu didepan saya. Nanti kapan kapan kita ngobrol lagi yaa” Dan “cklek..” telpon putus. Bagaimana perasaaan kita? Tentu hanya Tuhan dan kita yang tahu.

Jadi Bahan Olokan

Ada juga teman yang mau mendengarkan curhat kita, tapi bukan untuk memberikan saran atau membantu mencarikan solusinya, malahan jadi bahan cemoohan dan olokan. Merasa mendapatkan sahabat tempat mencurahkan rasa hati, serta impian impian yang ingin dicapai, tentu membuat hati kita jadi senang. Dan tanpa terasa meluncurlah semua isi hati kita dalam bentuk curhat langsung.

Bahwa saya ingin menjadi pengusaha. Membangun rumah permanent, menyekolahkan anak anak keluar negeri.

Ternyata belakangan, hal  ini jadi bahan lelucon dan olok olokan. Dalam bahasa Padang ada pribahasa mengatakan: ”Malompek tanggiri, malompek pulo bada bada” Artinya: orang yang tidak tahu diri. Orang kaya membangun rumah dan menyekolahkan anak keluar negeri, ee si  bokek (maksudnya saya), berani pula bermimpi disiang bolong. Menyekolahkan anak diluar negeri? “Hambuanglah ngarai!” (bunuh diri saja lah)

Menyikapi Penghinaan

Bagi orang kaya, dikatakan: "malompek tanggiri, malompek pulo bada bada” tidak akan membuat ia merasa terhina, Malahan bisa marah dan berkata: ”Saya punya uang, kamu tahu!”

Tapi dalam kondisi terpuruk lahir batin, kalimat kalimat ini sungguh seakan sebatang tombak yang langsung menembus keulu hati. Melukai amat sangat.  Terus mau apa? Mau bunuh diri? Lompat ke ngarai seperti dikatakan orang?

Tentu kita bukan manusia yang lembek seperti  itu. Kita sudah ditempa dan digodok dikawah pergulatan hidup. Kita sudah kenyang makan olokan dan hinaan. Apalah artinya ditambah dengan  satu atau bahkan sepuluh penghinaan lagi? 

Jadikan Cambuk Diri

Walaupun kita bukan seekor kuda yang harus dicambuk agar mau berlari, tapi tak urung setiap hinaan dapat di interprestasikan sebagai cambukan, bahkan motivasi yang sangat kuat menghadirkan empowering dalam diri dan berani mengatakan: ”Saya akan buktikan pada kalian, bahwa saya akan capai semua impian saya!”

Inilah jalan hidup yang kami tempuh. Dan dengan penuh rasa syukur dibelakang hari. Ketika kami  menghadiri wisuda putra pertama kami di California State University dengan predicate magna cumlaude. Orang orang yang dahulu mengatakan: ”hambuanglah ngarai” semuanya terdiam. Bahkan dikemudian hari, impian kami untuk mengunjungi  the Seven Wonders of the World terpenuhi dan impian lain mengunjungi  5 benua juga terwujud. Semua orang yang dulu menjadikan hidup kami olok olokan terdiam dalam sejuta bahasa.

Kami sama sekali tidak kaya, tapi sudah memenangkan pertarungan melawan badai dan topan kehidupan.

Tulisan ini jauh dari maksud membanggakan diri, melainkan semata untuk memotivasi, membangunkan orang banyak yang mungkin masih terlelap dalam mimpi mimpi buruk. ”Bangun dan capailah impian anda!”. Jadikan setiap penghinaan, sebagai cambuk diri untuk meraih impian demi impian!

9 Februari 2016

Tjiptadinata Effendi

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun