keterangan foto: Dimana bumi dipijak,disana langit dijujung, Menerima perbedaan ,bukanlah berarti kita kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia, Melainkan mengakui, bahwa setiap orang berhak berbeda dengan kita, Foto ini adalah kenangan bersama dengan beragam suku bangsa di dunia dalam pertemuan di Multicultural Centre= dikota Wollongong .New South Wales. Australia
Betapapun Dimanja Ibu Angkat,Ibu Kandung Tetap Tak Akan Terlupakan
Tinggal di Australia, bagi saya,adalah ibarat seorang anak yang dimanja oleh ibu angkatnya. Hal ini bukan hasil imaginasi atau karangan yang mengada ada,melainkan sebuah fakta yang tak terbantahkan.
Berbagai fasilitas yang diterima secara gratis ,antara lain:
- Kesempatan untuk belajar bahasa Inggeris selama 500 jam
- Disamping belajar gratis, setiap pagi ada coffef break dengan makanan kecil
- Boleh bergabung di Multicultural Centre bersama pendatang lainnya, secara
- Dengan memiliki Medicare card, pelayanan dokter ,bahkan tinggal dirumah sakit
- Transportasi, bis, kereta api dan ferri
- Mendapatkan majalah dan tabloid ,serta koran
- Antar dan jemput dari rumah ke club dan kembali ke rumah
- Bebas pajak
- Dan lain lain
Dirumah :” Ibu Kandung” Yakni Negeri Dimana Saya Dilahirkan dan Dibesarkan, tidak pernah mendapatkan fasilitas apapun dengan gratis,
Namun, sesuai judul artikel singkat ini, betapapun seorang anak dimanjakan oleh ibu angkatnya, sebagai seorang anak yang mengenal budi, pasti tidak akan pernah melupakan ibu kandungnya sendiri,
Warna Paspor Bukan Takaran Tentang Nasionalis
Kendati secara formal, warna paspor seseorang menentukan kewarganegaraannya, namun sesungguhnya hanyalah merupakan sebuah formalitas belaka. Walaupun Paspor kami berdua tetap paspor hijau, sedangkan teman teman lain banyak yang sudah ganti warna paspor, namun bukanlah berarti ,hanya yang memegang paspor hijau saja yang memiliki jiwa nasionalis.
Karena takaran bear kecilnya rasa cinta bangsa dan negara, sesungguhnya tidak dapat ditakar dengan warna phisik dari paspor yang dipegangnya. . Bahkan cucu kami ,yang dilahirkan di Australia dan bahasa Indonesianya sangat minim, bila ada yang bertanya, ia selalu menjawab dengan mantap,:” I am Indonesian!”
Artikel ini bukan untuk mengangkat diri sendiri, melainkan sekedar memberikan gambaran ,bahwa stigma yang selama ini terngiang dimasyarakat adalah bahwa orang Indonesia yang tinggal dan menetap diluar negeri , sudah kehilangan rasa nasionalismenya. Minimal jiwa nasionalnya patut dipertanyakan.
Semoga artiel kecil ini, setidaknya dapat menjadi penyeimbang tentang paradigma berpikir masyarakat Indonesia, bahwa rasa nasionalisme itu ada didalam hati dan jiwa seseorang dan tak dapat dipantau lewat warna paspornya.
Mengapa saya merasa perlu untuk menulis dan mempublished artikle ini? Karena tadi sempat diskusi dengan teman teman di Indonesia ,mengenai stigma :" Orang Indonesia yang meninggalkan negerinya ,adalah orang yang sudah kehilangan rasa nasionalismenya"
Saya termasuk tipe yang tidak suka berdebat, maka saya balik bertanya:" Menurut anda, mana yang lebih baik: seorang anak tinggal terus bersama ibu kandungnya, namun bukannya menolong, sebaliknya menggeroti ibu kandungnya,ketimbang anak yang meninggalkan ibu nya untuk merantau dan tidak menjadi beban bagi ibunya"
Semoga artikel keil ini ,setidaknya dapat menjadi bahan refleksi diri, bagi kita semuanya,
Iluka, 14 januari, 2016
Tjiptadinata Effendi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H