Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merangkak dan Sukses Bersama, Namun Garis Finish Berbeda

8 Juli 2015   12:53 Diperbarui: 8 Juli 2015   13:00 3424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merangkak Bersama, Sukses Bersama , Garis Finish Telapak Tangan Berbeda

Kami sama sama merangkak dari nol besar, sama sama hidup menderita bertahun tahun. Dan akhirnya kami berdua pada waktu yang hampir bersamaan, berhasil meraih impian kami, yakni menjadi Pengusaha Nasional. Namun di garis finish telapak tangan kami berbeda.

Tulisan ini saya salin dari peristiwa nyata kehidupan sahabat dan sekaligus kerabat saya, yang mengawali hidup dengan kerja keras, sempat meraih sukses belasan tahun, namun garis tangan kami ternyata berbeda. Untuk apa menulis tentang kisah hidup orang lain? Karena ada hasrat hati, agar jangan sampai orang lain mengalami nasib yang sama seperti sahabat saya.

Istilah :” garis tangan” ini, saya pinjam dari tulisan pak Pepih Nugraha. Sempat saya terpikir, apakah sama garis tangan setiap orang dengan takdir dirinya? Sungguh saya tidak bisa menjawab, karena saya bukan ahli agama dan juga bukan tipe seorang seorang yang agamis.

Ketika Jasad Sahabat Saya Masih Terbaring Dirumah, Putranya Sudah Mengumpat

Suatu waktu ketika berkesempatan pulang ke Indonesia, saya melayat sahabat dan sekaligus kerabat kami yang meninggal dunia. Dulu ia seorang pengusaha, namun karena sakit yang berkepanjangan dan menghabiskan uang yang tak terhitung di Rumah Sakit Mount Elisabeth di Singapore, akhirnya meninggal dunia.

Selama berbulan bulan sakit, perusahaannya tidak ada yang mengendalikan, sehingga menderita kerugian besar dan bangkrut. Waktu kami menjenguk, seperti layaknya orang turunan Tionghoa meninggal, tidak langsung dikebumikan. Melainkan disemayamkan dirumah atau dirumah duka, agar memberikan kesempatan kepada sanak keluarga yang tingggal diluar kota, berkesempatan datang melayat.

Saya duduk didampingi putranya yang sudah bekerja. Dari pada duduk bengong, maka saya membuka pembicaraan, berapa lama ayahnya sakit dan apa penyebabnya?

Jawaban putranya yang bernama Donald (bukan nama sebenarnya) sungguh sungguh membuat saya terperanjat. “Kata orang papa saya kaya. Kaya apaan?! Lebih dari 3 miliar uang dihabiskan di Singapore untuk berobat dan belum lagi harus bayar bunga uang bank. Untuk beli peti mati saja, saya harus utang 11 juta rupiah, tahu Om?!”

Terpana dan terhenyak

Sungguh saya terpana dan terhenyak, syukur bukan saya yang terbaring didalam peti itu, Gumam saya dalam hati. Sungguh tega, putra yang disayangi oleh sahabat saya almarhum, ternyata sama sekali tidak sedih karena kematian ayahnya, tetapi justru ia sedih karena harus mengeluarkan uang membeli peti mati.

Saya terdiam, terpana dan terhenyak. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri saya, saya berusaha untuk menahan diri tidak berbicara kasar. Karena saya sedang melayat dirumah duka. Namun, saya tidak dapat membungkam hati saya untuk berbicara, lambat lambat saya ucapkan :” Maaf Donald. Anda ada pada posisi sekarang ini, bukan semata karena kerja kepandaian anda. Anda mungkin cepat melupakan bahwa ayah anda yang kini terbaring dalam peti mati ini, membiayai study anda ke London.”

Wajah Donald merah padam. Mungkin saking murkanya pada saya, dan kemudian langsung berdiri, sambil bergumam. "Maaf saya mau kebelakang" Dan sejak saat itu ia tidak pernah lagi kembali duduk di samping saya.

Bersyukur Dicintai Anak dan Cucu

Dalam hati, saya meratapi nasib sahabat saya. Yang dianggap sampah yang menyusahkan oleh putra nya sendiri, Betapa amat menyakitkan, kalaulah rohnya bisa bersedih hati, maka saya yakin rohnya akan menangis dialam baka.

Sejak saat itu rasa syukur saya kepada Tuhan, meluap bagaikan air bah. Karena saya dan istri dicintai amat sangat oleh anak dan cucu cucu kami. Saya juga pernah sakit parah dan 4 kali operasi di Singapore, serta menghabiskan uang yang tidak terhitung. Namun tak sedetikpun istri dan anak anak saya menyebut masalah itu. Tanpa diminta mereka senantiasa memberikan kami ini dan itu. Kalau kami di Jakarta, hampir setiap malam, putra kedua kami mengajak kami makan direstoran, bersama keluarga, Memberikan angpau pada istri saya, tak terhitung.

Di Australia, putra kami membelikan sekoper pakaian Katmandhu. Yang harganya aduhai. Mengajak makan ini dan itu dan membelikan kami tiket kemana saja. Kemarin, kami dikirimi tiket dari Sydney ke Hobart .

Putri kami mengatakan: ”papa mama..maunya saya papa mama 12 bulan dalam setahun tinggal sama saya”

Cucu kami sering memberikan kami coklat dan yang sudah berkerja mengajak kami makan dan memberikan kami berbagai hadiah. Bahkan mantu dan mantu cucu kami, sangat memanjakan kami. Teman teman kami sering mengundang kami untuk makan malam bersama. Padahal kami beda suku, beda budaya dan beda bahasa.

Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada hidup dikelilingi oleh istri, anak, cucu dan mantu dan sahabat sahabat yang mengasihi kita? Kalau memang benar seperti kata orang, bahwa di dunia ini juga ada surga, maka saya merasa sejak meninggalkan semua kegiatan dagang, saya  merasa ,bagaikan hidup di dalam surga dunia.  Jauh dari disebut kaya, namun Tuhan sudah menghadiahkan saya : istri yang setia, anak mantu cucu dan sahabat sahabat yang mengasihi saya.

Uang Saya Tidak Laku di Kampung Halaman Saya

Bahkan setiap kali pulang ke Padang, dan makan direstoran, tidak sempat saya mengeluarkan dompet, selalu saja ada yang membayarkan untuk saya.Bukan karena dapat makanan gratis, tapi kasih sayang yang ditunjukkan oleh kerabat dan sahabat sahabat kami, sungguh sungguh membuat hati saya terenyuh. Padahal saya bukan tipe manusia yang sangat sangat beribadah.. tapi saya merasa Tuhan sudah memanjakan saya .Dan saya sudah bersumpah pada diri saya sendiri, untuk takkan pernah menghianati siapapun.

Mempersiapkan Hari Tua

  • Karena itu, kalaulah boleh saya menyarankan.:
  • mempersiapkan masa depan anak anak kita ,sangat baik,
  • tapi jangan lupa persiapkanlah juga masa tua kita,
  • agar jangan jadi beban bagi anak cucu
  • memberikan pendidikan kepada anak anak
  • untuk memahami bahwa semua orang butuh uang
  • tapi tidak semua hal dikalkulasi dengan uang
  • Ada hal yang paling bernilai, yakni cinta kasih dalam keluarga

Wollongong, 8 Juli , 2015

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun