Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Benar Kita Tidak Mengenal Kasta?

24 Maret 2015   13:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:07 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_374653" align="aligncenter" width="600" caption="foto bersama teman teman di Biak/tjiptadinata effendi"][/caption]

Apakah Benar Kita Tidak Mengenal Kasta?

Kalau ada orang yang mengatakan atau menulis :” Indonesia Mengenal Kasta”,hampir dipastikan banyak orang yang akan sangat berang dan protes:” Tidak Benar itu. Yang mengenal Kasta,hanya masyarakat yang beragama Hindu di India”

Tapi kalau kita mau jujur dan kita harus jujur, tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga jujur pada diri sendiri, mungkin sebelum protes,kita lakukan introspeksi diri terlebih dulu.

Apa Sih Arti Kasta itu?

Tidak perlu buka kamus dan juga tidakusah minta bantuan mbakgoogle, saya yakin kita semua sudah tahu, bahwa kasta itu ,berarti membedakan masyarakat dalam berbagai golongan, (kasta berasal dari kata:” casta” (spanyol) yang artinya :”pembagian masyarakat”.Banyak kisah kisah memilukan akibat dari penerapan kasta ini dalam masyarakat.Namun, daripada membahas kasta dinegeri atau dimasyarakat orang lain, alangkah arifnya,bila kita melakukan introspeksi diri. Benarkan masyarakat kita tidak menjalankan praktek kasta ini?

Makan Semeja dengan Sopir dan Pembantu?

Sejak saya masih aktif sebagai pengusaha, banyak teman teman saya yang protes:” Pak Tjipta,koq sopir diajak makan bersama?” Saya hanya jawab enteng:” Apa salahnya?”Apalagi ketika mereka berkunjung ke rumah kami, menyaksikan bahwa pembantu rumah tangga kami, duduk dan makan bersama kami,mereka geleng geleng kepala.

Hal ini berlangsung hingga kami pindah ke Jakarta. Pada umumnya ketika berhenti untuk istirahat makan, bung sopir disuruh makan di meja terpisah dan makanannya sudah diatur:”nasi campur”.

Orang risih menyaksikan kami senantiasa mengajak sopir makan bersama kami semeja dan boleh makan seperti apa yang kami makan, bahkan mereka boleh pesan jus atau kopi dan sebagainya, Ini bukan untuk pencitraan,kami saya sama sekal bukan pejabat. Hal ini kami lakukan sejak dari sononya. Karena pernah selama 7 tahun hidup tercampakkan dan dijauhi “orang orang kaya” telah menempa jiwa dan raga saya dan saya tanamkan kepada anak cucu,bahwa sopir dan pembantu rumah tangga ataupun kuli,itu adalah pekerjaan. Dalam hidup sosial,mereka semuanya sederajat dengan kita. Dan saya bersyukur, anak anak kami ketiga tiganya juga mengaplikannya dalam perjalanan hidup mereka, malah dalam mengajar,mereka selalu menegaskan :” Jangan ada diskriminasi”

Diskriminasi Dalam Bentuk Lain

Diskriminasi tidak hanya berarti membedakan orang berdasarkan suku ,warna kulit dan agama. Diskriminasi yang tidak kurang tajam dan menyakitkan justru membedakan manusia berdasarkan pekerjaan dan latar belakang sosialnya.


  • Orang merasa sungkan duduk semeja dengan sopir
  • Apalagi duduk makan bersama pembantu
  • Mengucapkan terima kasih kepada sopir/pembantu
  • Menyalami sopir dan pembantu


Mengapa?


  • Umumnya karena orang merasa dirinya:
  • lebih tinggi derajatnya dari seorang sopir atau seoran pembantu
  • merasa kalau sudah punya mobil baru dan rumah,sudah kaya?
  • merasa diri termasuk golongan intelektual ,karena menyandang gelar
  • merasa dirinya adalah golongan orang orang terhormat
  • dan seterusnya.


Mengalami Distorsi Kejiwaaan

Padahal sesungguhnya orang orang dengan tipe seperti ini ,adalah orang yang termasuk mengalami distorsi kejiwaan,yang tanpa sadar telah mengerogoti hati nuraninya. Dan bila dibiarkan ,akan menjadi sosok yang berbahaya bagi lingkungan dimana ia hidup.

Tulisan kecil ini bukan bermaksud menggurui,namun menyirat sebuah harapan, agar kita semua mawas diri, agar tidak terperangkap oleh  kelompok diskriminasi tersembunyi,seperti yang diuraikan diatas.

Iluka, 24 Maret, 2015

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun