Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sosok Wanita di Penegakan Hukum, Bukti SBY Tidak Gagal

6 September 2014   21:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:26 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14099626671716914201

[caption id="attachment_341274" align="alignleft" width="640" caption="ft.srikandi penegak hukum di indonesia:dusindo)/nurinasavitiri"][/caption]


Keberadaan sosok  wanita  dalam  penegakan hukum di Indonesia, dapat menjadi bukti, bahwa SBY tidak gagal dalam memperjuangkan kesetaraan gender.Walaupun dalam setiap lembaga  misalnya  yudikatif,, sosok wanita  masih tergolong langka jika dibanding pria

Kendati dalam bidang penegakan hukum di Indonesia, didominasi para pria ,namun sama sekali tidakmenyurutkan Srikandi srikandi Indonesia . Buktinya adalahwanita yang bernama: Artha Silalahi, Laksmi Rohmulyati dan Kolonel Sri Rumiati. Ketiganya adalah wanita penegak hukum Indonesia, yang berkarya di bidangnya masing masing

Artha Theresia Silalahi yang menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, mengawali karirnya, sebagai hakim sejak lebih dari 20 tahun lalu.Jadi dibidang ini wanita karir ini bukanlah orang baru. Karena sudah cukup lama makan asam garam dan bergelut dibidanghukum. Sebelumnya, wanita ini adalahKetua Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, provinsi Kepulauan Bangka Belitung .Menurut Artha, sejak tahun 1965 , sudah banyak hakim wanita yang berkiprah di Indonesia. Karena bidang hukum sesungguhnya bukanlah bersifat eksklusif kaum pria.

Masih menurut Artha ,paradigma yang selama ini beredar dimasyarakat ada 3 sisi yang mengandung asumsi,bahwa wanita tidak mungkin bisa sukses dibidang hukum,misalnya profesi sebagai hakim wanita

Tudingan terhadap penegak hukum wanita adalah:


  • sosok irasional,
  • seringkali berpikir menggunakan hati ketimbang logika
  • sering dianggap emosional

Namun Artha mengakui bahwa tugas hakim yang berat dan menyita banyak waktu turut menjadi faktor. Dan yang terakhir adalah sistem di pengadilan sendiri yang membuat para hakim harus sering mengalami relokasi.

“Karena kalau jadi hakim sering pindah-pindah tempat dinas, nah biasanya perempuan menempatkan diri sebagai seorang istri dan ibu, ini yang kemudian menghambat proses relokasi sebagai seorang hakim

Kondisi tersebut juga dibenarkan oleh Laksmi Indriyah Rohmulyati, Kepala Hubungan Internasional Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Menurut Laksmi, di korps Kejaksaan tempat ia mengabdi, prosentase jaksa perempuan yang memegang jabatan tinggi jauh lebih sedikit dibanding jaksa laki-laki. Ia mengungkapkan, hambatan untuk menapaki puncak karir justru datang dari dalam diri para jaksa perempuan

.“Jujur saja, banyak jaksa perempuan yang setelah diberi kesempatan yang sama dengan jaksa laki-laki, mereka justru terkesan membatasi diri. Biasanya, setelah menikah, jaksa perempuan cenderung memasrahkan jabatannya. Seringkali, mereka minta dipindahkan kembali ke pulau Jawa,” jelas perempuan lulusan Université Aix Marseilles III, Perancis ini.

Ia menambahkan, “Belum lagi jika ada kasus penting yang menyita perhatian publik, para jaksa, juga harus lembur sampai pagi,” ini yang membuat banyak jaksa perempuan menarik diri dan kemudian kalah langkah dengan jaksa laki-laki dalam urusan jabatan.

Karena itu, Laksmi tak memungkiri, selama ini dunia penegakan hukum sering dianggap sebagai bidangnya laki-laki. Ia mencontohkan, di Kejaksaan Agung Republik Indonesia saja, jumlah jaksa perempuan di tahun 2014 ada sekitar 2.641, jauh lebih sedikit dibanding jaksa laki-laki yang mencapai 6.345 orang. Maka tak heran, sosok penegak hukum pria lebih menonjol.

Laksmi Rohmulyati mengaku, banyak jaksa perempuan memasrahkan jabatannya ketika sudah menikah. Terlepas dari sistem patriarkal serta dominasi pria, Kolonel Sri, Artha Silalahi dan juga Laksmi Rohmulyati sepakat bahwa untuk mencapai kesuksesan sebagai seorang penegak hukum di korps manapun, seorang perempuan haruslah konsisten terhadap profesi mereka, walau tak harus meninggalkan kodrat sebagai seorang istri ataupun seorang ibu.Atau memilih mengundurkan diri dan menyerahkan kembali jabatannya,untuk kembali menjadi istri dan ibu rumah tangga.

(sumber: abcnews/radioaustralia/ft.nurinasavitri)

Catatan Penulis

Penuturan dari para Srikandi Indonesia yang berkiprah dibidang penegakan hukum ini, agaknya sekaligus menepis anggapan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono, telah gagal dalam upayanya menciptakan kesetaraan gender. Masalahnya tidak terletak pada SBY sebagai presiden, tetapi terlebih pada kodrat wanita itu sendiri, sebagai istri dan ibu dari anak anak mereka.

Memberikan penilaian tentu tidak dapat berdasarkan apa yang tampak kasat mata, tetapi juga memahami secara mendasar, penyebabnya . Sehingga penilaian yang diberikan dapat se objektif mungkin,

Nama Artha Sillahi meroket, ketika ia menjadi Ketua Majelis Hakim, Artha , saat memimpin persidangan dengan terdakwa Komisaris Besar Polisi Wiliardi Wizar,mantan Kapolres Jakarta Selatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 8 Oktober 2009 . Wiliardi Wizar didakwa terkait kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen. Hakim menjatuhkanvonnis 12 tahun penjara bagi perwira menengah Polisi ini.

Mount Saint Thomas, 6 September,2014

Tjiptadinata Effendi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun