Mohon tunggu...
Tjin Yohanes
Tjin Yohanes Mohon Tunggu... -

Seorang murid yang senantiasa belajar dan merenung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghidupi Hidup Sehidup-hidupnya

22 Juli 2016   11:26 Diperbarui: 22 Juli 2016   14:27 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Socrates pernah berkata, "The unexamined life is not worth living." Mungkin perkataan ini penting untuk direnungkan dalam masa kini. Di tengah hiruk-pikuknya aktivitas sehari-hari, pandangan akan kehidupan yang utuh seringkali menjadi kabur. Potret yang terlihat hanya tertuju pada daftar pekerjaan yang perlu diselesaikan, tagihan-tagihan yang perlu dibayar, makanan yang tersaji di meja, padatnya kendaraan di jalan raya, papan-papan reklame yang beraneka ragam, dan lain sebagainya. Potret ini bukan sehari, dua hari terlihat; betapa mengerikannya jika pemandangan ini yang terlihat setiap harinya! Potret hidup ini akhirnya mengaburkan hidup itu sendiri: mengapa melakukan yang dilakukan?

Beberapa orang berhasil melihat menembus potret yang menyesakkan ini dan masuk ke dalam dunia mimpi. Ya, mimpi. Imajinasi. Angan-angan. Harapan. Masa depan yang lebih baik. Bayangan akan hidup aman, damai, nyaman, serba berkecukupan terlihat jelas dibalik hingar-bingarnya kehidupan yang dijalani. Bayangan ini seolah-olah menjadi kekuatan untuk terus mendayung, angin segar yang berhembus membawa kapal kehidupan menembus ombak kehidupan yang senantiasa menerjang: untuk mencapai pulau impian, untuk menghidupi hidup sehidup-hidupnya.

Akan tetapi, potret ini mendadak menjadi gelap, hampa. Ya, kapal telah menabrak sebuah gunung es kengerian yang disebut kematian. Kapal tenggelam, ke dasar lautan yang begitu dalam. Mimpi dan angan-angan seakan-akan menguap ditelan kegelapan. Bukan karena tidak berarti, tetapi karena kehilangan arti. Kehilangan arti karena kefanaan bertemu dengan kekekalan. Pertanyaan yang sama kembali terulang: mengapa melakukan yang dilakukan?

Jika demikian, mengapa memulai mendayung? Mengapa susah payah mencari kehidupan yang hidup?

Ada pertanyaan yang lebih menarik lagi: mengapa bukan mendayung dari kekekalan?

Perkataan Socrates masih menggema sampai sekarang, "The unexamined life is not worth living."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun