eLove sepertinya sedang berusaha menaklukan dominasi kimia cinta (chemical-bond) melalui aplikasi Tik-Tok challenge dengan lagu electric-love yang menjadi trend dikalangan remaja saat ini dengan tagar #kissmybestfriend.
Sengatan kisah cinta jaman-now sepertinya tidak mau kalah dengan kisah kasih Laila-Majnun atau Romeo-Juliet. Beberapa hari belakangan ini kita dikejutkan dengan berita yang disampaikan wartawan Jerman mengenai Putri Mahkota Catharina Amalia dari Kerajaan Belanda yang sedang jatuh cinta dengan Putra Mahkota Pangeran Gabriel dari kerajaan Belgia. Mereka berhadapan dengan Undang-undang kerajaan Belgia yang melarang adanya Royal Married diantara kedua negara.
Mantan Perdana Menteri Belgia menyatakan tidak mungkin merubah undang-undang yang sudah berusia 200 tahun lebih, namun putri Belanda yang tahun ini akan memasuki masa kuliah menunjukkan secara keseriusan dalam hubungannya, secara diplomatis dia menolak tunjangan beasiswa dari pemerintah Belanda dengan alasan masih banyak anak-anak muda yang membutuhkan beasiswa tapi tidak mendapatkannya.
Kita masih belum tahu akhir kisah cinta tersebut, kisah cinta Putri Mako dari kerajaan Jepang yang menikahi warga biasa, kemudian harus meninggalkan Jepang dan membuat masyarakatnya terbelah.
Tulisan ini berusaha untuk tidak terjebak pada drama roman picisan tapi akan berfokus pada eWAR yang dapat diartikan electric-WAR atau energy-War tetapi lebih kepada electricity-WAR yang bercerita tentang perjuangan energi listrik dalam proses penyucian dirinya.
Awal bulan November ini, dunia dimeriahkan dengan perhelatan COP26 di Glasgow, Inggris dalam ambisi global untuk mengatasi perubahan iklim pada tahun 2050.
Namun ambisi ini menjadi blunder karena masing-masing negara tidak mempunyai rencana kongkrit dan realistis. Pakde Jokowi dalam pembukaan EBTKE Conex pada 22 November 2021 juga menyadari hal ini dan turut men-challenge kalau ada yang dapat memberikan solusi.
Mungkin kita perlu meluncurkan Tik-Tok challenge dengan tagar #kissEndonesa atau Electrizen-Indonesia dengan menggunakan lagu “Lathi” dari grup band electronic “Weird Genius” untuk mencari potensi solusi masalah perubahan iklim seperti harapan pakde.
Sebenarnya, ambisi COP26 Glasgow adalah salah satu produk setimen keberhasilan COP21 Paris yang diadopsi negara-negara dunia. Amerika yang sempat menyatakan keluar pada masa pemerintahan Trump dan kembali mengadopsi COP21 pada masa peerintahan Biden.
Persaingan antara Perancis dan Inggris sudah berlangsung lama sejak awal abad pertengahan. Perancis mulai menjelajahi dunia dan menaklukkan Afrika Utara, Asia Barat, Amerika Utara dan Selatan dan menjadi yang terbesar saat itu. Kemudian dominasi Perancis mulai redup ketika raja George III dari Inggris berhasil mengalahkan raja Bonaparte dari Perancis pada tahun 1815 dan membuat Inggris menguasai dua pertiga dunia.
Persaingan antar dua negara itupun terus berlanjut. Perancis mulai memperkenalkan teknologi energi terbarukan untuk kelistrikan di French Guiana dan Kep Barbados dengan memperkenalkan kombinasi teknologi energi terbarukan PLTS dengan teknologi Hydrogen Storage.
Inggris melalui loan ADB sempat mensupport Indonesia teknologi CCUS Project di CPP Gundih, namun dengan kearifan lokal Tim ITB project ini berubah menjadi komersial dan tidak layak mendapatkan pendanaan softloan.
Perseteruan ternyata tidak hanya terjadi antar dua negara tersebut, disini juga terjadi dalam perencanaan kelistrikan yang menghabiskan waktu dan berlarut-larut. Pertempuran terjadi terhadap tekanan untuk memasukkan energi terbarukan dan mematikan energi fosil.
Perseteruan memuncak terjadi ketika target kelistrika 35GW yang ditetapkan pakde awal pemerintahannya mulai tercapai, kemudian regulasi kesepakatan Paris tahun 2015 untuk pengunaan energi terbarukan harus diterapkan serta diperberat dengan keinginan pencapaian kesepakatan Net Zero Emission pada pertemuan di Glasgow.
Hangatnya perseteruan para penyusun kebijakan melahirkan gejolak yang bis akita ikuti di media masa. Drama perseteruan ini layaknya Drakor (drama Korea) yang berjilid-jilid. Sebagai ilustrasi, drama romantic yang lagi hits, “Hometown Cha-Cha-Cha” bercerita tentang dokter gigi cantik Shin Min-a yang pindah dari kota besar Seoul ke desa kecil di Gongjin. Gadis metropolitan modis dan ambisius berseteru dengan seorang pemuda desa yang humble dan sederhana. Perseteruan mereka menjadi sorotan dan buah bibir masyarakat desa terpencil itu.
Perseteruan adalah wajar jika dilihat dalam satu spot waktu tertentu dan kita membutuhkan frame waktu yang lebih luas untuk memberikan kesempatan kepada combating-art atau artis-artis seni yang piawai mengubah petaka menjadi berkahaan atau “blessing in disguise”.
Pada teknologi pengurangan emisi karbon melalui CCUS (Carbon Capture, Utilization and Storage), Indonesia termasuk yang terdepan diantara negara-negara kawasan. Jepang walaupun lebih dulu dengan pilot-project CCS di Tomakomai tetapi memilih proyek komersial CCUS Gundih yang ditinggalkan ADB dan memperkenalkan skema Joint Credit Mechanism (JCM) dalam trading CO2 yang berhasil ditangkap.
Inggris juga melalui perusahaan BP (British Petroleum) di Indoneesia akan menjalankan program pengurangan emisi CO2 komersial melalui proyek CCUS pada Proyek Gas Tangguh-3 di Papua.
Sebenarnya, lebih awal lagi perusahaan Amerika dari Exxon Mobile Cepu Limited diam-diam dan tanpa gembar-gembor media sudah terlebih dulu menerapkan proyek CCUS secara komersial sejak tahun 2017 pada meningkatkan produksi minyaknya atau disebut program EOR (Enhance Oil Recovery).
Di Indonesia, perseteruan Perancis dan Inggris berakhir manis dalam sebuah program yang dinamai MENTARI (Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia), pemerintah Inggris memberi dukungan perusahan Perancis HDF yang akan melistriki pulau Rote, Alor, Sumba dan Kupang di NTT yang akan menggunakan kombinasi teknologi PLTS dan Hidrogen.
electric-WAR atau perseteruan kelistrikan dalam negeri sepertinya juga akan berakhir manis dengan adanya titik cahaya terang rencana penandatangana kerjasama Indonesia-Jepang dalam bidang energi transisi untuk menerapkan teknologi menggunakan teknologi CCUS, produksi Hidrogen dan Amonia. Pemerintah Jepang menyediakan dana sekitar US$10 milyar untuk mendukung program energi transisi ini.
Alokasi dana yang tersedia dalam kerjasama tersebut dapat digunakan Indonesia pada pemanfaatan kelebihan daya (excess power) PLN terutama pada sistim Jawa-Bali yang mencapai 6000 MW. Nantinya PLTU yang ada akan menggunakan teknologi CCUS dan dikombinasikan dengan Hydrogen-Plant untuk memproduksi Blue Hydrogen yang kemudian akan dieksport ke Jepang.
Pemerintah Jepang yang sedang memperkenalkan kenderaan berbahan bakar hidrogen
membutuhkan pasokan hydrogen yang banyak dari Indonesia dan Australia.
Sayup-sayup terdengan suara Debbie Gibson dengan lagu “electric youth” dan waktunya untuk kita mengangkat cangkir kopi…..saluteeee!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H