Ajaran Saminisme bermula dari seorang tokoh Jawa bernama Raden Soerodipo atau dikenal dengan sebutan Samin Surosentiko. Ia lahir di Jawa Timur pada awal abad ke-19. Samin Surosentiko adalah seorang yang sangat spiritual dan memiliki pandangan yang khas terhadap agama, kehidupan, serta hubungan sosial.
Ajaran Saminisme berkembang sebagai reaksi terhadap kondisi sosial-politik yang ada pada zamannya, terutama terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang dianggapnya tidak adil. Saminisme mengusung prinsip-prinsip keadilan sosial, kesederhanaan, dan kesetaraan di antara semua manusia.
Salah satu aspek penting dari ajaran Saminisme adalah konsep "ngelmu iku laku" yang berarti "ilmu itu adalah praktek". Mereka percaya bahwa kebenaran sejati dapat ditemukan melalui pengalaman langsung, bukan hanya dari pengetahuan yang diberikan oleh orang lain atau lewat buku.
Selain itu, Samin Surosentiko juga mengajarkan tentang pentingnya hidup dalam kesederhanaan, menolak kekerasan, dan menanamkan nilai-nilai kesetaraan di antara semua manusia. Ajaran Saminisme juga mempunyai elemen-elemen kepercayaan lokal yang berkaitan dengan alam dan keseimbangan hidup.
Pemerintah kolonial pada masa itu melihat ajaran Saminisme sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka karena ajaran ini menolak membayar pajak dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Hal ini menyebabkan Samin Surosentiko dan para pengikutnya mengalami penindasan serta penganiayaan.
Meskipun Saminisme tidak menjadi agama resmi di Indonesia, ajaran-ajaran tersebut tetap bertahan dan memiliki pengaruh dalam pemikiran sosial dan spiritual di masyarakat Jawa. Saminisme menjadi bagian dari sejarah perlawanan terhadap ketidakadilan dan penjajahan di Indonesia.
Dalam ajaran Saminisme, konsep pajak memiliki peran yang signifikan karena menjadi salah satu poin utama yang memicu konflik dengan pemerintah kolonial Belanda pada masanya. Para pengikut Saminisme menolak membayar pajak kepada pemerintah kolonial dengan alasan bahwa mereka merasa tidak mendapatkan manfaat atau perlindungan yang layak dari pajak yang mereka bayar.
Mereka percaya bahwa tanah adalah milik bersama dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Oleh karena itu, mereka menolak membayar pajak atas tanah yang mereka anggap sebagai milik bersama masyarakat, bukan milik pribadi yang harus dipajaki.
Pandangan Saminisme terhadap pajak ini dianggap sebagai ancaman serius bagi otoritas kolonial pada saat itu. Penolakan mereka untuk membayar pajak menjadi salah satu alasan utama pemerintah kolonial untuk menindas dan menganiaya para pengikut Saminisme.
Konflik terkait pajak menjadi bagian penting dari perlawanan Samin Surosentiko dan para pengikutnya terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan di bawah pemerintahan kolonial. Hal ini menjadi salah satu elemen yang memperkuat perlawanan mereka terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil.
Salah satu penyebab utama kelompok Saminisme menolak membayar pajak adalah karena pandangan mereka terhadap kepemilikan tanah. Mereka mempercayai bahwa tanah adalah milik bersama masyarakat dan menentang konsep kepemilikan tanah secara pribadi. Pemungutan pajak atas tanah dianggap sebagai legitimasi dari sistem kepemilikan tanah pribadi yang bertentangan dengan keyakinan mereka akan kepemilikan bersama.