Mohon tunggu...
HARDIANTO CANDRA
HARDIANTO CANDRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.Ak

NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.AK Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Peprajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 12 - Diskursus Kepatuhan Manajemen Model "The PDCA Cycle dan Johari Windows" dikaitkan dengan Transfer Pricing

29 November 2023   05:31 Diperbarui: 29 November 2023   05:33 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transfer pricing adalah praktik penetapan harga yang digunakan perusahaan multinasional untuk menentukan harga jual atau transfer barang, jasa, atau hak kekayaan intelektual antara unit bisnis atau entitas anak perusahaan yang berbeda di berbagai yurisdiksi atau negara. Tujuan utamanya adalah untuk menetapkan harga transaksi internal yang adil dan wajar antara unit bisnis yang terkait dalam sebuah perusahaan, sehingga tidak menguntungkan atau merugikan salah satu unit bisnis tersebut.

Praktik transfer pricing menjadi penting karena perusahaan multinasional memiliki entitas bisnis di berbagai negara dengan peraturan perpajakan yang berbeda. Dengan menentukan harga transfer yang tepat, perusahaan dapat memanfaatkan peraturan perpajakan yang berbeda-beda di setiap negara untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya secara legal, seperti meminimalkan pajak penghasilan dengan menaikkan biaya pada entitas di negara dengan tarif pajak tinggi atau memindahkan keuntungan ke entitas di negara dengan tarif pajak rendah.

Namun, praktik transfer pricing juga dapat menimbulkan risiko jika dianggap tidak adil atau tidak wajar oleh otoritas pajak di suatu negara. Otoritas pajak cenderung memeriksa dan mengatur transfer pricing untuk memastikan bahwa transaksi antar unit bisnis dalam perusahaan multinasional tidak dimanipulasi secara tidak adil untuk menghindari pembayaran pajak yang seharusnya dibayar.

Beberapa metode yang umum digunakan untuk menentukan transfer pricing yang adil dan wajar antara unit bisnis, diantaranya:

  • Metode Harga Pasar (Comparable Uncontrolled Price/CUP): Membandingkan harga transaksi internal dengan harga yang biasa terjadi di pasar terbuka antara pihak yang tidak terkait.
  • Metode Biaya Plus (Cost Plus): Menambahkan margin ke biaya produksi untuk menetapkan harga jual internal. Margin ini didasarkan pada keuntungan yang diharapkan dari transaksi tersebut.
  • Metode Keuntungan Bersih (Resale Price Method/RPM): Menggunakan margin keuntungan bersih dari penjualan produk yang ditransfer, berdasarkan harga jual kepada pihak yang tidak terkait.
  • Metode Keuntungan Bersih yang Tertaut (Profit Split Method): Memecah keuntungan bersih secara proporsional antara entitas yang terlibat, berdasarkan kontribusi relatif masing-masing entitas terhadap nilai tambah keseluruhan.

Otoritas pajak di berbagai negara memiliki regulasi dan pedoman tersendiri terkait transfer pricing untuk mencegah manipulasi dan praktik yang merugikan penerimaan pajak negara. Perusahaan perlu memastikan bahwa kebijakan transfer pricing mereka mematuhi regulasi perpajakan yang berlaku di setiap yurisdiksi di mana mereka beroperasi untuk menghindari sanksi pajak dan potensi konsekuensi hukum lainnya.

# Bagaimana Transfer Pricing di Indonesia

Di Indonesia sendiri, legal atau tidaknya praktik transfer pricing tidak dapat katakan, sebab tidak adanya aturan atau hukum yang jelas yang menyatakan bahwa praktik transfer pricing adalah tindakan illegal dalam perpajakan. Namun didalam menjalankan praktik transfer pricing, selama itu tetap didalam ketentuan dan aturan yang berlaku maka transfer pricing masih dapat dijalankan. Akan tetapi sering dan banyak sekali kita ketahui bahwa diberbagai negara, praktik tranfer pricing ini kerap kali digunakan oleh Perusahaan yang nakal untuk mengemplang atau menghindari pajak yang seharusnya meraka bayarkan.

Berikut adalah bagian terkecil yang dapat kami berikat terkait dengan aturan terkait transfer pricing.

Definisi transfer pricing merujuk pada PMK No. 22/PMK.03/2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) pasal 1 angkat 17 yaitu penentuan harga dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Definisi dari Hubungan Istimewa lebih dipertegas melalui PP 55 tahun 2022 walaupun secara substansi tidak berbeda dengan ketentuan yang berlaku didalam PMK No. 22/PMK.03/2020. Tertuang dalam pasal 33 ayat 1 PP 55 tahun 2022, hubungan istimewa adalah keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, atau hubungan keluarga sedara atau sebenda.

Dikarenakan transfer pricing kerapkali digunakan oleh Perusahaan multinasional, maka transfer pricing dapat di klasifikasikan menjadi 2 kelompok berdasarkan pelaku:

  • Intra Company Transfer Pricing : transfer pricing yang dilakukan antardivisi didalam satu perusahan
  • Intern Company Tranfer Pricing: transfer pricing yang dilakukan antara 2 atau lebih Perusahaan yang terjalin karna adanya hubungan istimewa. Bisa didalam satu negara yang sama maupun berbeda atau internasional.

Karna tujuan utama dari transfer pricing adalah untuk menetapkan harga transaksi internal yang adil dan wajar. Maka didalam menjalankan praktiknya harus didasarkan pada prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha yang tidak di pengaruhi oleh hubungan istimewa.

Menurut Peraturan PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak dan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Pasal 1 angka 5 menjelaskan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP). Prinsip ini menegaskan bahwa jika kondisi dalam transaksi antara pihak yang memiliki Hubungan Istimewa serupa dengan transaksi antara pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa (sebagai pembanding), maka harga atau keuntungan dari transaksi pihak yang memiliki Hubungan Istimewa harus sejajar atau berada dalam kisaran harga atau keuntungan dari transaksi pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa yang dijadikan pembanding.

Dalam upaya mencegah penghindaran pajak yang berasal dari hubungan istimewa, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk menyesuaikan pendapatan, pengurangan, dan menetapkan utang sebagai modal untuk menetapkan jumlah Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan entitas lainnya. Penetapan ini didasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang merupakan perubahan keempat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Perlu diingat juga bahwa wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi diwajibkan untuk menyelenggarakan atau membuat dan menyimpan Transfer Pricing Document (TP Doc). Transfer Pricing Dokumen (TP Doc) merupakan dokumen yang disusun oleh Wajib Pajak untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam menetapkan Harga Transfer. Dokumen ini terdiri dari dokumen inti, dokumen lokal, serta laporan per negara. Keberadaan TP-Doc memiliki signifikansi penting dalam domain perpajakan karena membantu dalam memastikan transparansi serta kepastian bahwa transaksi antar entitas yang terkait secara pajak dilakukan dengan nilai yang sesuai dengan harga pasar yang adil. Regulasi terkait pengaturan TP-Doc telah diatur dalam PMK-213/PMK.03/2016.

Sumber: pratamaindomitra.co.id (1)
Sumber: pratamaindomitra.co.id (1)

Sumber : pratamaindomitra.co.id (2)
Sumber : pratamaindomitra.co.id (2)

Aturan aturan diatas dapat dijadikan sebagai Batasan bagi Perusahaan untuk menjalankan praktik transfer pricing agar tidak menyalahgunakan praktik tersebut, serta terbebas dari sanksi yang mengintai.

# Manajemen Model PDCA (Plan-Do-Check-Act) terkait Tranfer Pricing

Manajemen model PDCA merupakan singkatan dari Plan-Do-Check-Act, adalah sebuah metode manajemen berulang yang digunakan untuk meningkatkan kualitas proses dan produk serta untuk mencapai perbaikan berkelanjutan dalam berbagai jenis organisasi. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Walter A. Shewhart pada tahun 1920-an dan dikembangkan lebih lanjut oleh W. Edwards Deming, salah satu pakar manajemen kualitas.

PDCA terdiri dari empat langkah yang saling terkait:

  • Plan (Rencana): Tahap ini melibatkan perencanaan dan identifikasi masalah atau peluang perbaikan. Tujuan utamanya adalah untuk merumuskan tujuan, merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan mengumpulkan data yang relevan.
  • Do (Lakukan): Setelah perencanaan selesai, tahap ini melibatkan pelaksanaan rencana yang telah dibuat. Ini mencakup penerapan langkah-langkah atau proses yang telah direncanakan pada tahap sebelumnya.
  • Check (Periksa): Setelah tahap pelaksanaan, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi hasilnya. Di sini, dilakukan pengumpulan data dan informasi untuk membandingkan hasil yang telah dicapai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
  • Act (Tindaklanjuti): Tahap terakhir melibatkan pengambilan tindakan berdasarkan evaluasi hasil pada tahap sebelumnya. Jika hasilnya sesuai dengan yang diharapkan, langkah-langkah dapat diterapkan secara berkelanjutan. Namun, jika terdapat penyimpangan dari tujuan atau hasil yang diinginkan, tindakan perbaikan atau penyesuaian harus diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Setelah tindakan perbaikan diambil, siklus PDCA dimulai kembali dengan merencanakan langkah-langkah berikutnya.

Siklus PDCA ini merupakan proses berkelanjutan yang menekankan pentingnya evaluasi, perbaikan, dan iterasi. Pendekatan ini memungkinkan organisasi untuk terus meningkatkan kinerja mereka secara berkesinambungan dengan menggunakan pendekatan sistematis dan terstruktur.

Model ini sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk manajemen kualitas, manajemen proyek, perbaikan proses, dan inovasi produk. Prinsip PDCA juga sering diintegrasikan dalam standar manajemen mutu seperti ISO 9001 untuk membantu organisasi dalam mencapai dan mempertahankan standar kualitas yang tinggi.

Bagaimana bila manajemen model PDCA ini dikaitkan dengan kontek perpajakan dalam menjalankan praktik transfer pricing disebuah Perusahaan.

Manajemen Model PDCA dapat diterapkan sebagai kerangka kerja yang membantu perusahaan untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi pajak terkait transfer pricing serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas strategi transfer pricing mereka. PDCA dapat juga digunakan sebagai pendekatan yang terstruktur untuk memastikan bahwa kebijakan transfer pricing sebuah perusahaan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku serta efisien dalam mengelola transaksi antar perusahaan.

Berikut tahapan PDCA didalam menjalankan praktik transfer pricing:

  • Plan (Rencana): 
    • Identifikasi Transaksi Terkait: Perusahaan harus mengidentifikasi transaksi yang melibatkan transfer barang, jasa, atau hak kekayaan intelektual antara entitas atau anak perusahaan di berbagai yurisdiksi.
    • Penetapan Kebijakan Transfer Pricing: Dalam tahap ini, perusahaan merencanakan strategi transfer pricing. Hal ini mencakup mempertimbangkan aturan perpajakan terkait dan praktek terbaik dalam industri.
    • Analisis dan Pemilihan Metode: Perusahaan juga melakukan analisis untuk menentukan metode yang sesuai untuk menilai transaksi transfer pricing. Misalnya, apakah menggunakan metode perbandingan (comparable uncontrolled price), cost-plus, atau lainnya.
  • Do (Lakukan):
    • Implementasi Kebijakan: Setelah rencana dibuat, perusahaan mengimplementasikan kebijakan transfer pricing ini dalam transaksi sehari-hari antar entitas bisnisnya.
    • Pelaksanaan Transaksi: Transaksi sehari-hari dilakukan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Misalnya, harga produk yang ditransfer antar divisi perusahaan sesuai dengan kebijakan transfer pricing.
  • Check (Periksa):
    • Evaluasi Kinerja: Perusahaan memeriksa hasil transaksi transfer pricing untuk memastikan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
    • Audit Internal: Pemeriksaan internal dilakukan untuk memeriksa kepatuhan terhadap kebijakan transfer pricing yang berlaku serta efektivitasnya dalam mencapai tujuan perusahaan.
    • Pembandingan dengan Aturan Perpajakan: Perusahaan juga membandingkan hasil transaksi dengan aturan perpajakan yang berlaku di berbagai yurisdiksi yang terlibat.
  • Act (Tindaklanjuti):
    • Perbaikan dan Penyesuaian: Jika ada penyimpangan atau masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan, perusahaan melakukan tindakan perbaikan sesuai dengan hasil evaluasi.
    • Pembaruan Kebijakan: Jika ada perubahan dalam aturan perpajakan atau kondisi pasar, perusahaan memperbarui kebijakan transfer pricing mereka agar tetap relevan dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
    • Peningkatan Proses: Perusahaan juga dapat melakukan pelatihan atau peningkatan dalam proses mereka untuk memastikan bahwa staf terkait memahami dan menerapkan kebijakan transfer pricing dengan benar.

Dalam konteks pajak dan transfer pricing, siklus PDCA membantu perusahaan untuk terus memperbaiki proses mereka, mengoptimalkan kepatuhan pajak, dan mengurangi risiko atas ketidakpatuhan. Dengan melakukan evaluasi berkelanjutan dan melakukan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi, perusahaan dapat memastikan bahwa kebijakan transfer pricing mereka tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku dan kondisi pasar yang terus berubah. Sebab pada dasarnya Perusahaan wajib secara berkala untuk memantau dan meninjau Kembali praktik transfer pricing mereka agar memastikan bahwa mereka tetap relevan dan sesuai dengan perubahan dalam struktur bisnis, peraturan perpajakan, dan kondisi pasar. Dengan adanya model PDCA akan memberikan kemudahan bagi Perusahaan untuk melakukan perbaikan dan evaluasi.

# Melihat praktik transfer pricing dengan sudut pandang teori Johari Window

 Teori Jendela Johari adalah model psikologis yang digunakan untuk memahami dan meningkatkan kesadaran diri seseorang atau sebuah kelompok. Teori ini diciptakan oleh dua psikolog, Joseph Luft dan Harrington Ingham, yang menggambarkan persepsi diri dan persepsi orang lain terhadap diri seseorang melalui empat 'jendela' atau area pengetahuan terdiri dari: Arena Terbuka (Open Area), Arena Tersembunyi (Hidden Area), Arena Buta (Blind Area), dan Arena Tertutup (Unknown Area).

  • Arena Terbuka (Open Area): Ini adalah bagian dari diri kita yang diketahui oleh diri sendiri dan juga oleh orang lain. Di sini, komunikasi terbuka dan informasi pribadi atau karakter yang disadari oleh orang lain dan oleh diri sendiri.
  • Area Buta (Blind Area): Ini adalah bagian dari diri kita yang tidak kita sadari, tetapi diketahui oleh orang lain. Informasi ini mungkin tentang perilaku atau karakteristik kita yang tidak kita sadari, tetapi terlihat oleh orang lain melalui interaksi dengan kita. Umpan balik dari orang lain menjadi kunci untuk meningkatkan pemahaman diri dalam area ini.
  • Tumpukan Tersembunyi (Hidden Area): Ini adalah bagian dari diri kita yang kita sadari tetapi tidak kita bagi atau tunjukkan kepada orang lain. Di sini, mungkin ada informasi atau pengalaman pribadi yang kita simpan untuk diri sendiri karena alasan tertentu, seperti rasa malu, rasa takut, atau privasi.
  • Area yang Tidak Diketahui (Unknown Area): Ini adalah bagian dari diri kita yang tidak kita sadari dan juga tidak diketahui oleh orang lain. Mungkin ada potensi, sifat, atau pengalaman yang belum tersingkap atau disadari oleh diri sendiri maupun orang lain.

Tujuan dari Teori Jendela Johari adalah untuk memperluas area terbuka (Open Area) dengan memperluas kesadaran diri dan mengurangi area yang buta dan tersembunyi melalui komunikasi, umpan balik, dan introspeksi. Dengan berbagi informasi dan menerima umpan balik, seseorang dapat meningkatkan pemahaman diri dan meningkatkan hubungan interpersonal.

Ketika konsep 4 jendela Johari diterapkan pada praktik perpajakan terkait transfer pricing dalam suatu perusahaan, konsep ini dapat memberikan pemahaman yang menarik. Berikut 4 area dalam jendela Johari dalam konteks perpajakan terkait transfer pricing:

  • Arena Terbuka (Open Area); Ini mencakup informasi dan data yang dikenal oleh perusahaan dan juga oleh pihak luar. Dalam konteks transfer pricing, ini mungkin mencakup informasi tentang kebijakan transfer pricing perusahaan yang tersedia untuk pihak berkepentingan eksternal, seperti otoritas pajak. Misalnya, kebijakan perusahaan tentang penetapan harga transfer untuk produk atau layanan antar anak perusahaan yang diungkapkan secara terbuka dalam laporan keuangan atau dokumen perpajakan.
  • Arena Tersembunyi (Hidden Area); Area ini berisi informasi yang diketahui oleh perusahaan tetapi tidak diungkapkan kepada pihak luar, termasuk otoritas pajak. Dalam konteks transfer pricing, ini mungkin mencakup detail atau strategi spesifik dalam penetapan harga transfer yang tidak secara terbuka diungkapkan dalam laporan keuangan atau dokumen perpajakan. Ini bisa termasuk pertimbangan tentang alokasi biaya, penentuan harga, atau struktur perusahaan yang tidak transparan secara eksternal.
  • Arena Buta (Blind Area); Ini mencakup informasi atau aspek yang diketahui oleh pihak luar, termasuk otoritas pajak, namun tidak dipahami atau diketahui oleh perusahaan itu sendiri. Dalam konteks transfer pricing, ini bisa terjadi ketika otoritas pajak memiliki informasi tentang praktik transfer pricing yang tidak diakui atau dipahami sepenuhnya oleh perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya kesadaran atau pemahaman perusahaan terhadap risiko atau implikasi dari pendekatan transfer pricing yang mereka gunakan.
  • Arena Tertutup (Unknown Area); Area ini mencakup informasi yang tidak diketahui oleh perusahaan dan juga oleh pihak luar. Dalam konteks transfer pricing, ini bisa mencakup aspek atau implikasi jangka panjang dari praktik transfer pricing yang belum dipahami atau diperhitungkan oleh perusahaan. Misalnya, risiko perubahan regulasi perpajakan atau implikasi pajak dari praktik transfer pricing di masa depan.

Penerapan konsep Jendela Johari dalam praktik perpajakan terkait transfer pricing memungkinkan perusahaan untuk:

  • Meningkatkan transparansi - Dengan memindahkan informasi dari area tersembunyi ke area terbuka, perusahaan dapat meningkatkan transparansi dan keterbukaan terkait kebijakan dan praktik transfer pricing mereka.
  • Mengurangi risiko pajak - Dengan menyadari area buta dan memperluas pengetahuan tentang perspektif otoritas pajak, perusahaan dapat mengurangi risiko terkait ketidaktahuan mereka terhadap implikasi pajak dari praktik transfer pricing.
  • Meningkatkan kepatuhan - Dengan memahami area yang tidak diketahui, perusahaan dapat lebih siap menghadapi perubahan regulasi perpajakan dan menyesuaikan praktik transfer pricing mereka dengan lebih baik.

Dengan demikian, konsep Jendela Johari dapat membantu perusahaan dalam meningkatkan kesadaran mereka terhadap praktik perpajakan terkait transfer pricing dan mengelola risiko serta kepatuhan perpajakan dengan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun