Mohon tunggu...
HARDIANTO CANDRA
HARDIANTO CANDRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.Ak

NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.AK Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Peprajakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Manajemen Tata Kelola pada Pemotongan PPh: Paradoks antara Kepatuhan dan Penghindaran Pajak

14 Oktober 2023   02:44 Diperbarui: 14 Oktober 2023   02:48 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Fee.org_unair.ac.id

Pajak merupakan instrumen fiskal yang sangat penting dalam mengelola keuangan pemerintah di Indonesia, seperti yang diatur dalam undang-undang. Definisi pajak sesuai dengan hukum pajak di Indonesia adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh individu, perusahaan, atau entitas hukum lainnya untuk membayar sejumlah uang kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (UU KUP No. 28 Tahun 2007). Pajak digunakan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai program dan proyek pembangunan, termasuk penyediaan infrastruktur, layanan publik, dan berbagai sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Masyarakat.

Pentingnya pajak di Indonesia sangat besar. Pertama, pajak merupakan sumber utama pendapatan pemerintah, yang diperlukan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pelayanan sosial. Tanpa pajak, pemerintah akan kesulitan untuk memenuhi kewajiban ini dan menjalankan fungsinya dengan baik.

Kedua, pajak juga berperan dalam mengatur ekonomi. Pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mengendalikan inflasi, meredistribusi pendapatan, dan mendorong investasi. Melalui pajak, pemerintah dapat memberikan insentif atau sanksi kepada berbagai sektor ekonomi, seperti memberikan keringanan pajak untuk industri tertentu atau mengenakan pajak atas barang-barang mewah. Hal ini dapat membentuk perilaku ekonomi masyarakat dan menciptakan keadilan sosial.

Selain itu, pajak juga berperan dalam membangun rasa kepatuhan warga negara terhadap hukum. Pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua warga negara dan bisnis, dan pemungutan pajak yang efisien dan transparan dapat membantu memperkuat prinsip keadilan sosial dan rule of law. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjalankan sistem pajak yang adil dan efisien serta memberikan layanan yang baik kepada warga negara.

Di Indonesia sistem perpajakan yang dianut adalah self-assessment. Sistem self-assessment memberikan wajib pajak, baik individu maupun perusahaan, tanggung jawab untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak mereka sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mendorong ketaatan pajak dan meminimalkan potensi penyalahgunaan. Wajib pajak diharapkan untuk memahami peraturan perpajakan, menghitung jumlah pajak yang harus mereka bayar, dan melaporkan pajak dengan tepat waktu. Dalam upaya mempermudah proses ini, pemerintah telah mengadopsi teknologi dan memberikan panduan perpajakan yang memadai.

Namun, penting juga untuk mencatat bahwa DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tetap melakukan pemeriksaan dan audit pajak guna memastikan kepatuhan wajib pajak. Pemeriksaan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meminimalkan potensi penyimpangan dan memastikan bahwa sistem perpajakan berjalan secara adil dan transparan. Dengan demikian, pajak dan sistem self-assessment adalah dua komponen yang saling terkait, di mana pemahaman yang baik tentang undang-undang perpajakan sangat penting untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan menjalankan sistem perpajakan yang efektif di Indonesia.

Selain sistem self-assessment, sistem tata kelola pemotongan pajak juga merupakan bagian penting dari sistem perpajakan di Indonesia. Dalam sistem ini, pihak ketiga, seperti perusahaan atau institusi keuangan, diberi tanggung jawab untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang mereka bayarkan kepada penerima penghasilan. Seperti yang terdapat pada undang undang bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan (Perusahaan maupun instansi), meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai ketentuan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pajak tersebut dapat disetor langsung ke kas negara. Pada akhir tahun pajak, jumlah pajak yang telah dipotong atau dipungut dan disetor ke kas negara akan dihitung dan dapat dikreditkan kepada penerima penghasilan sebagai bagian dari kewajiban pajak mereka. Istilah "pemotongan" digunakan ketika pajak dipotong oleh pemberi penghasilan dari jumlah penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan, seperti yang terjadi dalam PPh Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23. Sementara istilah "pemungutan" merujuk pada jumlah pajak yang dipungut atas pembayaran yang berpotensi menghasilkan pendapatan bagi penerima bayaran, seperti dalam Pajak Penghasilan Pasal 22. Sistem ini merupakan cara yang efektif untuk memastikan pemungutan pajak yang efisien dan menyediakan sumber pendapatan yang diperlukan bagi negara.

Sistem pemotongan pajak memiliki kaitan yang erat dengan konsep self-assessment dan paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak. Self-assessment adalah konsep di mana wajib pajak memiliki tanggung jawab untuk menghitung dan melaporkan penghasilan mereka sendiri kepada otoritas pajak. Namun, dalam konteks pemotongan pajak, sebagian besar tanggung jawab ini dipindahkan ke pihak ketiga yang harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Lalu bagaimana self-assessment dan pemotongan pajak berinteraksi, sejauh mana paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak memengaruhi sistem ini.

Pertama-tama, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak dan penghindaran pajak. Kepatuhan pajak mengacu pada kewajiban warga negara atau perusahaan untuk membayar pajak sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pajak ini mencakup pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan banyak lagi. Di sisi lain, penghindaran pajak adalah upaya yang sah untuk mengurangi kewajiban pajak tanpa melanggar hukum. Ini dapat mencakup penggunaan insentif pajak yang tersedia, investasi cerdas, dan perencanaan pajak yang tepat.

Konsep self-assessment dalam perpajakan mengimplikasikan bahwa wajib pajak memiliki kewajiban untuk secara jujur dan akurat melaporkan penghasilan mereka sendiri kepada otoritas pajak. Dalam sistem pemotongan pajak, sebagian tanggung jawab ini dialihkan kepada pihak ketiga, seperti perusahaan atau lembaga keuangan, yang melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas nama wajib pajak. Namun, dalam kasus self-assessment, pihak ketiga ini hanya bertindak sebagai agen pajak yang melakukan pemotongan sesuai dengan peraturan yang ada.

Salah satu paradoks yang muncul di sini adalah bagaimana self-assessment sejalan dengan sistem pemotongan pajak. Sebagian besar wajib pajak di Indonesia mengandalkan pemotongan pajak oleh pihak ketiga, dan mereka mungkin kurang cenderung untuk melakukan perhitungan pajak sendiri, terutama dalam kasus PPh Pasal 21 yang melibatkan penghasilan rutin seperti gaji. Dalam hal ini, self-assessment menjadi terbatas karena pihak ketiga sudah memotong pajak sebelum wajib pajak menerima penghasilannya. Namun, ada situasi lain di mana self-assessment masih relevan, seperti dalam Pajak Penghasilan Pasal 22, di mana pihak ketiga melakukan pemungutan pajak atas transaksi tertentu yang berpotensi menghasilkan pendapatan. Di sinilah wajib pajak harus memahami dan melaporkan dengan benar transaksi-transaksi yang dapat memengaruhi pajak yang harus mereka bayar.

Paradoks yang muncul dalam konteks self-assessment dan pemotongan pajak adalah bagaimana wajib pajak dapat memanfaatkan pemotongan pajak untuk menghindari pajak lebih lanjut atau memanipulasi pelaporan pajak mereka. Ini bisa terjadi karena pihak ketiga mungkin tidak selalu memahami situasi keuangan pribadi wajib pajak secara mendalam, dan terkadang mereka mungkin tidak melakukan pemotongan pajak dengan benar. Dilain sisi juga Pemerintah mengandalkan penerimaan pajak untuk mendanai berbagai program dan proyek, seperti pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi. Meskipun pentingnya pajak diakui secara luas, masyarakat dan perusahaan sering kali mencari cara untuk menghindari pajak atau setidaknya menguranginya sebanyak mungkin. Hal ini menciptakan paradoks yang menarik antara kepatuhan pajak dan penghindatan pajak di Indonesia. 

Sumber : Timey Erlely
Sumber : Timey Erlely

isu penghindaran pajak menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dalam konteks ini, karena kepatuhan pajak menitik beratkan dari adanya sukarela dari wajib pajak karna sistem perpajakan yang di berikan adalah self assessment, namun sistem self assessment belum mampu untuk merubah wajib pajak untuk melaksanakan kegiatan perpajakannya dengan baik dan benar. Terlihat dari tax ratio Indonesia di tahun 2022 sebesar 10,39% memang mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 9,21%, tetapi ini masih menjadi salah satu yang paling rendah di antara negara G20 dan Asean. 

Sumber : tbrights.com
Sumber : tbrights.com
Membuktikan bahwa masih rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Ada Salah satu aspek penting yang perlu dicermati adalah tingkat pajak yang berlaku di Indonesia. Semakin tinggi tarif pajak, semakin besar insentif bagi individu dan perusahaan untuk mencari cara mengurangi pajak mereka. Selain itu, aturan perpajakan yang kompleks dan sering berubah-ubah juga dapat mendorong penghindaran pajak, karena orang cenderung mencari celah dalam hukum untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Ini menciptakan tekanan pada sistem perpajakan Indonesia untuk terus memperbarui peraturan perpajakan dan memastikan agar mereka tidak dapat dieksploitasi untuk penghindaran pajak.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia memiliki tugas yang berat dalam mengumpulkan pajak yang cukup untuk mendanai berbagai program dan proyek yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan negara. Jika ada terlalu banyak penghindaran pajak atau bahkan pengelakan pajak ilegal, ini dapat merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara mendorong kepatuhan pajak dan memastikan bahwa sistem perpajakan tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan ekonomi.

Terdapat juga factor dalam paradoks ini adalah moralitas dan etika dalam hal membayar pajak. Sementara hukum pajak mengatur apa yang diwajibkan oleh warga negara dan perusahaan, ada elemen moralitas yang berperan dalam keputusan apakah harus membayar pajak dengan benar atau mencari cara untuk menghindarinya. Beberapa orang dan perusahaan mungkin merasa bahwa membayar pajak dengan benar adalah kewajiban moral mereka sebagai anggota masyarakat yang baik, sementara yang lain mungkin melihat pajak sebagai beban yang harus diminimalkan sesuai dengan hukum.

Kepatuhan pajak yang rendah dapat membahayakan negara, karena itu berarti bahwa sumber daya yang diperlukan untuk mendanai layanan publik akan berkurang. Ini berdampak negatif pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sektor-sektor penting lainnya. Oleh karena itu, pemerintah harus mengambil tindakan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya membayar pajak dengan benar dan memberikan insentif kepada warga negara yang taat pajak. Di sisi lain, pemerintah juga harus berhati-hati agar tidak memberlakukan pajak yang terlalu tinggi, sehingga mendorong penghindaran pajak yang berlebihan.

Penghindaran pajak juga menciptakan tantangan besar dalam hal distribusi kekayaan dan kesenjangan sosial. Ketika perusahaan besar dan individu kaya berhasil mengurangi kewajiban pajak mereka, ini bisa berarti bahwa mereka lebih banyak menyimpan kekayaan mereka daripada berkontribusi kepada masyarakat. Sebaliknya, beban pajak jatuh pada warga negara dengan pendapatan yang lebih rendah atau perusahaan kecil yang mungkin memiliki lebih sedikit sumber daya untuk menghindari pajak.

Oleh karena itu, ada paradoks moral dalam penghindaran pajak. Beberapa dapat melihatnya sebagai hak untuk mengurangi beban pajak sebanyak mungkin, sementara yang lain mungkin menganggapnya sebagai ketidakadilan dalam sistem perpajakan yang menyebabkan ketidaksetaraan ekonomi. Ini memicu pertanyaan tentang bagaimana pemerintah dapat memastikan bahwa sistem perpajakan adil, dengan memastikan bahwa semua orang dan perusahaan berkontribusi sesuai dengan kemampuan mereka.

Selain itu, isu penghindaran pajak semakin kompleks dengan adanya perkembangan teknologi dan globalisasi. Perusahaan multinasional seringkali dapat memindahkan keuntungan mereka dari satu negara ke negara lain dengan mudah melalui perpindahan harga transfer (transfer pricing) dan perusahaan-perusahaan penampungan pajak (tax haven). Hal ini menciptakan kesulitan bagi pemerintah dalam menghitung pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan-perusahaan ini. Dalam beberapa kasus, perusahaan mungkin memindahkan sebagian besar keuntungannya ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah, bahkan jika sebagian besar operasinya sebenarnya berada di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi.

Salah satu alat yang pemerintah Indonesia dan negara-negara lain gunakan untuk mengatasi penghindaran pajak ini adalah perjanjian pajak ganda (tax treaties) dan perjanjian pertukaran informasi (information exchange agreements). Dengan perjanjian semacam ini, negara dapat bekerja sama untuk menghindari penghindaran pajak ganda dan pertukaran informasi untuk memastikan bahwa warga negara atau perusahaan yang beroperasi di dua negara yang berbeda tidak dapat menghindari pajak dengan memanfaatkan celah dalam hukum pajak.

Sumber : Indopajak.id
Sumber : Indopajak.id

Namun, perlu dicatat bahwa perjanjian pajak ganda ini juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan penghindaran pajak, karena perusahaan multinasional dapat memanfaatkan perbedaan dalam peraturan perpajakan antar negara untuk mengurangi beban pajak mereka. Oleh karena itu, penting untuk meninjau dan memperbarui perjanjian ini secara teratur untuk memastikan bahwa mereka tidak disalahgunakan untuk tujuan penghindaran pajak.

Ketika kita membahas paradoks antara kepatuhan pajak dan penghindaran pajak, perlu juga mempertimbangkan dampak globalisasi dan perpindahan teknologi ini. Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain harus berkolaborasi untuk menciptakan aturan perpajakan yang adil dan efektif yang mempertimbangkan realitas bisnis global saat ini.

Selanjutnya, penting untuk mengakui bahwa tidak semua bentuk penghindaran pajak adalah ilegal atau tidak etis. Beberapa tindakan penghindaran pajak adalah sah dan diatur oleh hukum. Misalnya, penggunaan insentif pajak yang tersedia atau perencanaan pajak yang bijak adalah langkah-langkah yang sering kali diambil oleh perusahaan dan individu untuk mengurangi pajak mereka. Ini tidak selalu mencerminkan kurangnya kepatuhan, tetapi lebih kepada upaya untuk memaksimalkan efisiensi keuangan mereka dalam kerangka peraturan perpajakan yang ada.

Namun, batasan antara penghindaran pajak yang sah dan ilegal seringkali kabur. Beberapa perusahaan mungkin melibatkan praktik yang cenderung lebih agresif dan berpotensi menyalahi hukum dalam upaya untuk mengurangi pajak mereka. Dalam hal ini, perlu ada kerjasama antara pemerintah dan perusahaan untuk memastikan bahwa praktik-praktik ini tidak melanggar hukum atau etika.

Begitu banyak perusahaan dan individu yang mencari celah dalam sistem perpajakan untuk mengurangi pajak mereka, sehingga pemerintah seringkali terlibat dalam perburuan pajak untuk memeriksa kepatuhan dan menghindari penghindaran pajak. Pemeriksaan pajak dapat menjadi proses yang panjang dan rumit, yang sering kali melibatkan biaya tambahan baik bagi pemerintah maupun bagi perusahaan yang diperiksa. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara mendorong kepatuhan pajak dan menghindari pengeluaran berlebihan dalam penegakan hukum pajak.

Sumber : Fee.org_unair.ac.id
Sumber : Fee.org_unair.ac.id

Saat ini, teknologi juga memainkan peran penting dalam pengawasan pajak. Sistem informasi dan pelaporan pajak elektronik memungkinkan pemerintah untuk melacak transaksi keuangan dengan lebih mudah, sehingga mengurangi ruang bagi penghindaran pajak.

Selain itu, hukum perpajakan dan peraturan perpajakan di Indonesia terus berubah dan berkembang seiring waktu. Ini menciptakan ketidakpastian bagi warga negara dan perusahaan, yang mungkin harus terus-menerus memantau perubahan hukum dan beradaptasi dengan mereka. Perubahan-perubahan ini dapat menciptakan peluang baru untuk penghindaran pajak atau dapat mengubah cara perusahaan dan individu mengelola keuangan mereka. Oleh karena itu, perlu ada komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat agar semua pihak memahami perubahan hukum pajak yang ada dan dampaknya.

Salah satu cara untuk mengatasi paradoks ini adalah dengan memperkuat transparansi dalam hal perpajakan. Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus bekerja sama untuk meningkatkan transparansi dalam laporan keuangan perusahaan dan individu. Ini akan memudahkan pemeriksaan pajak dan mengurangi ruang bagi penghindaran pajak. Selain itu, transparansi dapat menciptakan tekanan sosial yang lebih besar bagi perusahaan dan individu untuk mematuhi peraturan perpajakan dengan benar.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu penghindaran pajak telah mendapatkan perhatian yang lebih besar di tingkat global. Organisasi internasional, seperti Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), telah bekerja untuk mengembangkan standar internasional dalam hal perpajakan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Inisiatif seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) bertujuan untuk mengurangi celah dalam hukum perpajakan yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pajak.

Namun, isu penghindaran pajak tetap menjadi tantangan yang kompleks dan sulit untuk diatasi sepenuhnya. Perusahaan multinasional memiliki sumber daya besar untuk menyewa tim perencana pajak yang terampil dan mencari celah dalam hukum perpajakan. Selain itu, mereka sering memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan perpajakan negara-negara di mana mereka beroperasi.

Selain itu, isu penghindaran pajak juga terkait erat dengan persaingan fiskal antar negara. Beberapa negara berlomba-lomba menawarkan tarif pajak yang rendah untuk menarik investasi dan perusahaan asing. Ini menciptakan lingkungan di mana perusahaan dapat memilih untuk beroperasi di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah, bahkan jika sebagian besar bisnis mereka sebenarnya berada di negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi.

Paradoks antara kepatuhan pajak dan penghindaran pajak juga berkaitan dengan isu etika dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Banyak perusahaan saat ini berusaha membangun citra sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Namun, ketika perusahaan tersebut terlibat dalam praktik penghindaran pajak yang agresif, hal ini dapat menciptakan konflik antara citra yang mereka coba bangun dan tindakan mereka dalam hal pajak.

Penting untuk mempertimbangkan bahwa penghindaran pajak yang sah adalah praktik yang diperbolehkan oleh hukum, dan banyak perusahaan berpendapat bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjaga biaya mereka seefisien mungkin untuk manfaat pemegang saham mereka. Namun, ini menciptakan pertanyaan tentang di mana garis antara memaksimalkan keuntungan dan tanggung jawab sosial seharusnya ditarik.

Selain itu, penghindaran pajak juga dapat memengaruhi opini publik dan politik. Ketika masyarakat melihat perusahaan-perusahaan besar yang membayar pajak yang relatif rendah, hal ini dapat menciptakan ketidakpuasan sosial dan tuntutan untuk mengubah hukum perpajakan. Ini telah menyebabkan beberapa perubahan dalam peraturan perpajakan di beberapa negara, dengan upaya untuk mengenakan pajak lebih berat pada perusahaan-perusahaan besar.

Namun, perlu dicatat bahwa penghindaran pajak bukanlah masalah yang dapat diatasi dengan cepat atau mudah. Ini adalah isu yang kompleks dan multifaset, yang melibatkan faktor-faktor ekonomi, hukum, etika, dan politik. Oleh karena itu, solusi untuk paradoks ini akan memerlukan kerjasama dan pemikiran kritis dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak dalam konteks self-assessment dan pemotongan pajak merupakan tugas yang kompleks dan memerlukan pendekatan holistik. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut:

  • Penyederhanaan Aturan Pajak:
  • Salah satu langkah penting adalah menyederhanakan aturan pajak. Semakin kompleks aturan pajak, semakin besar peluang bagi wajib pajak untuk mengeksploitasi celah dan menghindari pajak. Oleh karena itu, pemerintah perlu bekerja untuk meminimalkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam aturan pajak. Penyederhanaan ini dapat mencakup konsolidasi jenis pajak, pengurangan jumlah pengenaan pajak, dan pengurangan berbagai jenis insentif yang sulit dipahami.
  • Pendidikan Pajak:
  • Meningkatkan pemahaman wajib pajak tentang sistem pajak adalah kunci untuk mengatasi paradoks ini. Program pendidikan pajak yang efektif dapat membantu wajib pajak memahami hak dan kewajiban mereka, serta konsekuensi hukum dari penghindaran pajak. Lebih banyak literasi pajak juga dapat membantu mereka untuk lebih sadar akan tindakan yang dapat dianggap ilegal atau tidak etis.
  • Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Lebih Ketat:
  • Untuk mengatasi penghindaran pajak, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat. Ini melibatkan pengembangan mekanisme yang memungkinkan otoritas pajak untuk memonitor transaksi dan laporan pajak wajib pajak secara lebih efektif. Hukuman yang tegas dan penegakan hukum yang ketat juga dapat menjadi deterren bagi wajib pajak yang mencoba menghindari pajak dengan cara ilegal.
  • Transparansi dan Kerja Sama Internasional:
  • Penghindaran pajak seringkali melibatkan perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai yurisdiksi. Oleh karena itu, kerja sama internasional dalam pertukaran informasi perpajakan dan peningkatan transparansi dapat membantu mengatasi permasalahan ini. Berbagai perjanjian internasional seperti Konvensi OECD tentang Pertukaran Informasi dalam Hal Perpajakan (CRS) telah dirancang untuk mengatasi penghindaran pajak lintas batas.
  • Pemberian Insentif yang Tepat:
  • Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memberikan insentif pajak kepada sektor-sektor tertentu. Insentif yang tidak sesuai atau tidak terkendali dapat menjadi sarana penghindaran pajak. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi rutin terhadap insentif-insentif yang diberikan dan pengukuran dampaknya terhadap penerimaan pajak dan perekonomian secara keseluruhan.
  • Penggunaan Teknologi:
  • Teknologi, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan analisis data, dapat digunakan untuk mendeteksi pola penghindaran pajak. Otoritas pajak dapat menggunakan analisis data untuk mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan dan mendapatkan wawasan yang lebih baik tentang perilaku wajib pajak. Teknologi juga dapat digunakan untuk mempercepat proses perpajakan, yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan pajak yang lebih tepat waktu.
  • Kolaborasi dengan Sektor Swasta:
  • Kerjasama dengan sektor swasta, terutama perusahaan dan lembaga keuangan, juga sangat penting. Mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik perpajakan yang lebih transparan dan etis dapat membantu mengurangi penghindaran pajak. Perusahaan dapat diundang untuk berpartisipasi dalam inisiatif sukarela yang mendukung tujuan perpajakan yang lebih adil dan transparan.

Paradoks antara kepatuhan pajak dan penghindatan pajak merupakan masalah yang rumit dan multifaset, yang memerlukan pemikiran kritis, kerjasama, dan solusi yang inovatif, Dalam rangka mengatasi paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak, diperlukan kombinasi berbagai strategi ini. Pendekatan holistik yang mencakup perubahan aturan, pendidikan, pengawasan yang ketat, dan kerjasama internasional dapat membantu menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien dan adil, sambil meminimalkan potensi penghindaran pajak yang merugikan bagi penerimaan negara. Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, perubahan dalam peraturan perpajakan dan praktik perusahaan akan terus berkembang. Pemerintah, perusahaan, dan masyarakat harus terus berdiskusi dan berkolaborasi untuk menemukan cara yang efektif untuk mengatasi masalah ini demi kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi :

UU KUP No. 28 Tahun 2007

https://bppk.kemenkeu.go.id/sekretariat-badan/berita/pemotongan-dan-pemungutan-pajak-penghasilan-781681

https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Menkeu-Optimis-Target-Pajak-Tercapai-Hattrick

https://tbrights.com/tax-ratio-2022-indonesia-menjadi-salah-satu-yang-paling-rendah-di-antara-g20-dan-asean/

Eben Ezer, Ghozali.(2017). PENGARUH TINGKAT PENDAPATAN, TARIF PAJAK, DENDA PAJAK, DAN PROBABILITAS PEMERIKSAAN PAJAK TERHADAP KEPATUHAN PAJAK. DIPONEGORO JOURNAL OF ACCOUNTING Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017, Halaman 1-13. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/accounting

Dinar Aryanti. (2020). PENGARUHSELF ASSESSMENT SYSTEM DAN PENGETAHUAN PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 9 Nomor 7 Juli 2020, e-ISSN : 2460-0585. http://jurnalmahasiswa.stiesia.ac.id/index.php/jira/article/view/2956/2968

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun