Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pandangan Hidup Manusia Jawa

27 Desember 2020   21:21 Diperbarui: 27 Desember 2020   21:38 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandangan hidup bisa dipadankan dengan istilah filsafat. Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosphia yang bermakna cinta kearifan (the love of wisdom). Filsafat mempunyai sifat serupa dengan seni, ilmu pengetahuan, dan agama. Mengutip Ouspensky, Abdullah Ciptoprawiro (1986) menyebut filsafat, seni, ilmu pengetahuan dan agama sebagai four ways of seeking truth atau 'empat jalan mencari kebenaran'.

Ilmu pengetahuan mendasarkan diri atas observasi dan eksperimen yang mengarusutamakan pancaindera dan penalaran. Filsafat mendasarkan diri atas penalaran secara logika dengan sintesis hal-hal yang telah diketahui dan analisis hal-hal yang belum diketahui. 

Agama mendasarkan diri pada wahyu yang datang dari kekuatan atau kesadaran di luar jangkauan manusia. Adapun seni bertolak daripenghayan emosi (rasa) yng didorong oleh sebuah kekuatan kreativitas dalam penciptaan.

Melalui bukunya berjudul Philosophy, an Introductioan to the Art of Wondering (1973), James L. Christian mengemukakan rumusan filsafat sebagai usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kodrat kemampuannya. Pengetahuan tentang hidup menyeluruh inilah yang dalam kebudayaan Jawa diistilahkan sebagai ngudi kasampurnan.

 Ngudi kasampurnan atau filsafat Jawa bertolak pada tiga landasan yaitu Ketuhanan, Kesadaran akan semesta, dan keberadaan (eksistensi) manusia (Hardjowirogo, 1984). 

Tuhan merupakan pencipta dan tempat muasal manusia sekaligus tempat manusia kembali, yang diistilahkan dengan sangkan paraning dumadi. Sedangkan semesta adalah alam (jagat gumelar) yang merupakan manifestasi atau pengejawantahan kuasa Tuhan. Alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan atau satu harmoni yang disebut sebagai kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.

Filsafat Jawa memiliki perbedaan pokok dengan filsafat Barat (yang bersumber pada filsafat Yunani). Perbedaan pokok itu, yang pertama, filsafat Jawa selalu berpusat pada landasan ketuhanan sehingga tidak mungkin ajaran filsafat Jawa bisa melahirkan sikap atheis. 

Kedua, filsafat Jawa tidak pernah melepaskan keberadaan manusia dengan semesta. Harmonisasi manusia dan semesta menjadi salah satu pandangan penting yang mengisyaratkan keberadaan manusia tak bisa dilepaskan dari semesta. 

Yang ketiga, filsafat Jawa tidak berangkat dari pertanyaan 'apa yang dicari dan dipertanyakan' seperti pada filsafat Yunani, melainkan bermula dari pertanyaan 'dari mana dan ke mana' semua wujud, yang diungkapkan dengan istilah sangkan paraning dumadi.

Filsafat Jawa memiliki tiga ruang lingkup yaitu metafisika, epistomologi, dan axiology (Mulder, 2011). Metafisika merincikan penggambaran Tuhan, Manusia dan Alam Semesta.

Tuhan dalam pandangan filsafat Jawa adalah imanen-transeden, sesuatu yang tak bisa dibayangkan seperti apapun tapi dekat tiada bersentuhan sekaligus jauh tiada perbatasan ( diungkapkan dengan indah: dat kang tan kinayangapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan). 

Manusia dalam konsep filsafat Jawa memiliki unsur 'kembali' dan memiliki tugas untuk menciptakan keselarasan (harmoni) sebagai mahluk sosial dan mahluk Tuhan, sebagai mikrokosmos yang menjadi bagian dari makrokosmos.

Epistomologi filsafat Jawa berkaitan dengan proses untuk memperoleh pengetahuan. Proses pemerolehan pengetahuan ini melalui tiga tahap yaitu cipta-rasa-karsa yang akan mengantarkan pada pengetahuan mutlak atau kawicaksanaan (wisdom).

Adapun axiology dalam ruaang lingkup filsafat Jawa berkaitan dengan estetika, etika dan nilai. Produk-produk kebudayaan Jawa, baik yang bersifat kebendaan maupun nonbenda menjadi kajian axiology sehingga semua produk kebudayaan Jawa dianggap memiliki nilai filosofi yang berkait dengan estetika, etika, dan nilai.

Filsafat Jawa acapkali disimbolisasikan dalam wayang. Wayang bahkan digambarkan sebagai bentuk identitas manusia Jawa. Wayang menjadi salah satu mitos lama yang memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa sekaligus menjadi inspirasi dan identifikasi manusia Jawa. Keberadaan wayang dalam masyarakat Jawa secara gamblang dinyatakan dalam Serat Centini  jilid IX pupuh 598 tembang megatruh bait 3 dan 4; //.."janma tama karya lajem mring pandulu/sasmitaning Hyang Sejati, dalang lan wayang dinunug/pamanggone Hyang mawarni/karya upameng pandulon"/ (Manusia utama membuat pandangan samara yang samar/sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang memiliki tugas tertentu/menempatkan kehendak Tuhan beraneka ragam/dengan cermin yang terlihat).  //"Kelir jagat gumelar wayang pinanggung/asnapun mahluking widhi/gedebog bantala wegung/blencong padhaninging urip/gamelan gendinging lakon//"(Kelir lambang jagat di atas panggung/beraneka ragam titah tuhan/batang pisang melambangkan bumi/sinar blencong melambangkan cahaya hidup/gamelan melambangkan irama lakon manusia//.

Dalam kutipan serat Centini di atas tampaklah bahwa wayang merupakan cerminan manusia di dunia. Menggambarkan pula proses perjalanan manusia dalam kurun waktu yang terbatas namun berputar seperti siklus, yang dalam filsafat Jawa, disebut dengan istilah cakramanggilingan.

Alur dalam pertunjukan wayang pun berbeda dengan alur pertunjukkan teater Barat. Alur pertunjukkan wayang lebih didasarkan pada 'persona' sedangkan alur pertunjukkan teater Barat didasarkan pada logika sebab-akibat atau kausalitas. 

Hal ini mencerminkan pula dengan lugas bahwa filsafat Jawa lebih mengedapankan rasa atau rahsa sedangkan filsafat Barat mengedepankan logika. Sehingga orang Jawa mengatakan dirasakne (dirasakan) bukan dipikir. Filsafat Jawa meletakan rasa (emosi, sikap batin) lebih penting dibandingkan nalar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun