Manusia dalam konsep filsafat Jawa memiliki unsur 'kembali' dan memiliki tugas untuk menciptakan keselarasan (harmoni) sebagai mahluk sosial dan mahluk Tuhan, sebagai mikrokosmos yang menjadi bagian dari makrokosmos.
Epistomologi filsafat Jawa berkaitan dengan proses untuk memperoleh pengetahuan. Proses pemerolehan pengetahuan ini melalui tiga tahap yaitu cipta-rasa-karsa yang akan mengantarkan pada pengetahuan mutlak atau kawicaksanaan (wisdom).
Adapun axiology dalam ruaang lingkup filsafat Jawa berkaitan dengan estetika, etika dan nilai. Produk-produk kebudayaan Jawa, baik yang bersifat kebendaan maupun nonbenda menjadi kajian axiology sehingga semua produk kebudayaan Jawa dianggap memiliki nilai filosofi yang berkait dengan estetika, etika, dan nilai.
Filsafat Jawa acapkali disimbolisasikan dalam wayang. Wayang bahkan digambarkan sebagai bentuk identitas manusia Jawa. Wayang menjadi salah satu mitos lama yang memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa sekaligus menjadi inspirasi dan identifikasi manusia Jawa. Keberadaan wayang dalam masyarakat Jawa secara gamblang dinyatakan dalam Serat Centini  jilid IX pupuh 598 tembang megatruh bait 3 dan 4; //.."janma tama karya lajem mring pandulu/sasmitaning Hyang Sejati, dalang lan wayang dinunug/pamanggone Hyang mawarni/karya upameng pandulon"/ (Manusia utama membuat pandangan samara yang samar/sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang memiliki tugas tertentu/menempatkan kehendak Tuhan beraneka ragam/dengan cermin yang terlihat).  //"Kelir jagat gumelar wayang pinanggung/asnapun mahluking widhi/gedebog bantala wegung/blencong padhaninging urip/gamelan gendinging lakon//"(Kelir lambang jagat di atas panggung/beraneka ragam titah tuhan/batang pisang melambangkan bumi/sinar blencong melambangkan cahaya hidup/gamelan melambangkan irama lakon manusia//.
Dalam kutipan serat Centini di atas tampaklah bahwa wayang merupakan cerminan manusia di dunia. Menggambarkan pula proses perjalanan manusia dalam kurun waktu yang terbatas namun berputar seperti siklus, yang dalam filsafat Jawa, disebut dengan istilah cakramanggilingan.
Alur dalam pertunjukan wayang pun berbeda dengan alur pertunjukkan teater Barat. Alur pertunjukkan wayang lebih didasarkan pada 'persona' sedangkan alur pertunjukkan teater Barat didasarkan pada logika sebab-akibat atau kausalitas.Â
Hal ini mencerminkan pula dengan lugas bahwa filsafat Jawa lebih mengedapankan rasa atau rahsa sedangkan filsafat Barat mengedepankan logika. Sehingga orang Jawa mengatakan dirasakne (dirasakan) bukan dipikir. Filsafat Jawa meletakan rasa (emosi, sikap batin) lebih penting dibandingkan nalar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H