Sebermula, seksualitas dianggap sebagai sesuatu yang suci. Percintaan dan persetubuhan dianggap sebagai sebuah pertemuan hati, perpaduan emosi, dan kebersamaan yang dibalut kasih sayang antara dua mahluk yang berbeda kelamin.Â
Tak hanya dipandang sebagai proses biologis yang dilakukan sebagai kesadaran untuk bereproduksi semata, namun seks juga dipahami sebagai bentuk dialektika kemahlukan dan kekhalikan dalam proses penciptaan.
Al-Ghazali (ihya Ulumudin,III;159-160) memuji seksualitas (syahwat) karena dua hal. Pertama, memotivasi orang atau umat untuk berebut surga. Kedua, menjadikan landasan wadah kelangsungan keturunan. Bagi Ghazali seksualitas merupakan kodrati sekaligus bentuk konsekuensi keberadaan mahluk yang ditakdirkan berpasang-pasangan.
Errich Fromm menyebut seks sebagai ruang bertemunya kembali kebersamaan manusiawi. Seksualitas menyadarkan akan hasrat untuk berinteraksi, memahami suatu kebersamaan sebagai suatu keniscayaan yang tak bisa diingkari.Â
Cinta sebagai bagian dari seksualitas (dan sebaliknya) merupakan kutub dari sebuah hasrat, maka aktivitas seks merupakan puncak kulminasi dari sebuah perpaduan dan kebersamaan manusiawi. Seks merupakan alat untuk mengatasi keterpisahan manusia.
Karena dianggap sebagai sebuah wilayah yang suci, maka seksualitas tak bisa dipertontonkan di depan publik. Seks menjadi sangat privat dan ritualisasinya hanya mungkin dilakukan di ruang domestik.Â
Keterpaduan dan kebersamaan manusiawi dalam ritualisasi seks sebagai puncak kerinduan manusia laki-laki dan perempuan hanya mungkin ada dalam ranah yang sangat personal.
Dalam ranah yang sangat mempribadi itu, saat melakukan aktivitas seksual, manusia akan sepenuhnya menanggalkan kolektivitas pribadinya menjadi mahluk pribadi sepenuhnya, yang bukan hanya bisa mewujudkan eksistensi aku (being), dan rasa keakuan (existence)nya. Menjadi sosok yang merdeka mendialogkan diri dengan nilai kemanusiaan dan spiritualitas yang transenden.
Keterbebasan manusia dari reduksi, hegomoni, serta subordinasi kepentingan di luar dirinya (eksternal) yang diperolehnya saat beraktivitas seksual, berhasil memungkinkan pengejaan kebersamaan manusiawi dan transendental yang lebih maksimal.Â
Seks, bahkan kata Foucault, bisa menjadi energi untuk memberontak terhadap segala kepengapan yang mengitari kehidupan kita sehari-hari.
Begitu dipandang sebagai bagian dari wilayah yang suci, maka seksualitas tak segan-segan dipakai sebagai perwujudan simbolik dalam prosesi religiusitas. Sebagai contoh, di masyarakat Papua terdapat tradisi Zak Ai, yaitu dipakainya air mani (semen) sebagai bagian dari prosesi sebuah ritual religi. Dalam prosesi ini, air mani (semen) dianggap sebagai bagian dari kehidupan, awal dari kehidupan, sebab dari air mani itulah terjadi manusia baru.