Tersebutlah dua buah buku ramalan dua orang futurulog yaitu, yang pertama, ditulis John Naisbitt berjudul Megatrends 2000Â dan yang kedua, ditulis Fatricia Aburdene, dengan judul The 1990's" Decade of Women in Leadership.Â
Kedua buku ini sama-sama meramalkan bahwa dasawarsa 1990an dan memasuki abad ke-21 peranan perempuan semakin meningkat bahkan menjadi kunci perubahan zaman yang berarti perempuan mempunyai peluang yang tinggi untuk menjadi pemimpin.Â
Ramalan ini berdasarkan kenyataan dan pengalaman historis kaum perempuan di Eropa yang karena dampak global menyebar dan mempengaruhi perubahan sosial di seluruh dunia.
Istilah pemimpin tak bisa diceraikan dengan istilah kepemimpinan. Istilah kepemimpinan oleh Toeti Heraty Noerhadi dimaknai sebagai memperoleh atau mencapai keunggulan sebagai individu dalam masyarakat atau wilayah yang disebut wilayah publik.Â
Dalam pengertiannya yang klasik kepemimpinan diartikan sebagai kedudukan berkuasa dan berwenang untuk mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi tatanan kehidupan dan pekerjaan banyak orang dalam masyarakat.Â
Dua pendapat ini menunjukkan bahwa wilayah publik yang dimaksud adalah di luar rumah atau di masyarakat bukan di wilayah domestik. Dua pendapat di atas juga secara implisit menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan ada persoalan hierarki, kompetisi, kekuasaan, resiko dan tanggung jawab.
Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, asosiasi kita terhadap frase perempuan pemimpin adalah perempuan yang memiliki aspek kekuasaan. Perempuan kuasa yang kuat dan berwibawa dalam memegang tampuk kekuasaannya. Asosiasi tersebut tak sepenuhnya benar, karena istilah pemimpin tak selamanya berkaitan dengan kekuasaan tapi lebih menekankan pada peran.
Dari berbagai fakta sejarah ternyata bisa diketahui bahwa kedudukan dan peran perempuan di Indonesia sangat penting. Itu berarti menunjukkan bahwa jauh sebelum emansipasi dan feminisme bergaung, perempuan Indonesia ternyata sudah memiliki peran yang strategis dalam masyarakatnya.Â
Hal ini menunjukkan sesuatu yang unik mengingat bahwa sejak dulu Indonesia (Nusantara) dianggap sebagai masyarakat patriarki yang menempatkan kedudukan laki-laki lebih penting dan dominan dibanding perempuan.
Gambaran patriarki tersebut diungkapkan dengan jelas oleh R.A. Kartini dalam surat-suratnya yang terkumpul dalam Habis Gelap Terbitlah Terang yang mencitrakan sosok perempuan sebagai manusia sekunder atau pelengkap saja. Ungkapan kanca wingking, sigaraning nyawa, pekerjaan perempuan yang masak, manak dan mlumah, menunjukkan citra perempuan yang inferior dan sekedar subordinasi dari kaum laki-laki.
Namun dalam realitanya, ternyata terdapat banyak bukti bahwa di masa lampau kaum perempuan di Nusantara telah memiliki peran penting dalam berbagai sektor kehidupan seperti sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan sektor militer.Â