Namun, munculnya kolonialisme dan imperalisme menjadikan posisi nusantara terkunci dan perdagangan rempah-rempah dimonopoli. Akibatnya kesadaran bahari digantikan kesadaran pulau dan daratan.
Orientasi Nusantara tak lagi mengarah ke keluasan bahari yang tak terbatas, melainkan beralih berorientasi ke daratan yang sempit. Sampai kini pun kolonialisme baru dengan kekuatan kapitalnya mengeksploitasi dan menguasai laut kita.
Sudah saatnya dirumuskan kembali strategi-strategi kultural yang berorientasi kebaharian. Perlu adanya pemaknaan dan orientasi baru untuk kembali ke bahari sebagai sumber kemakmuran masa depan.
Negara-negara lain, sepertri Amerika, Cina, Korea bahkan Malaysia sangat agresif melakukan orientasi dan investasi-investasi kelautan. Mereka membangun kesadaran akan bahari melalui museum-museum bahari dan pemikiran-pemikiran bahari.
Sementara kita belum juga memulainya. Â Persoalan-persolan besar selalu dipikirkan dan dijawab dengan cara berpikir darat. Kebijakan-kebijakan besar berpusat dengan cara pandang darat.
Pemerintah lebih memilih Persolan-persolan besar selalu dipikirkan dan dijawab dengan cara berpikir darat. Kebijakan-kebijakan besar berpusat dengan cara pandang darat.
Pemerintah lebih memilih membangun jembatan yang menghubungkan antarselat dibanding membangung pelabuhan dan dermaga. Tak ada upaya untuk menghidupkan dan memodernisasikan pelayaran-pelayaran rakyat.
Berpangkal tolak dari pemikiran inilah harus dicoba meretas jalan melalui kebudayaan dan strategi budaya untuk kembali berorientasi ke bahari. Tentu saja tak hanya sekedar untuk membangkitkan romantisme historis kejayaan bahari, namun juga merumuskan rancangan strategi budaya untuk masa depan yang lebih gemilang dan bermartabat.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H