Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks dan Demokrasi yang Retak

30 September 2020   08:31 Diperbarui: 30 September 2020   08:37 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ranah politik menyebutkan ada  empat pilar penopang demokrasi, yaitu negara, pasar, masyarakat sipil, dan media. Media dalam hal ini, tentu saja tidak terbatas pada media massa cetak, namun meliputi pula media baru berbasis internet dan digitalisasi. 

Media baru ini tidak hanya mengubah cara berkomunikasi, namun juga berpotensi mengubah cara berpolitik. Dengan kata lain, media berbasis internet dan digital menjadi salah satu sumber daya politik yang aktif, dinamis, publiktif, sekaligus interaktif yang mampu membangun proses demokrasi yang sehat.

Media baru berbasis internet dan digitalisasi memiliki potensi membangun masyarakat yang demokratis karena dapat dengan efektif mendorong partisipasi masyarakat untuk berperan aktif menyuarakan aspirasinya dalam proses kebijakan publik. 

Media baru berbasisi internet dan digitalisasi ini pun mampu berfungsi sebagai sarana kontrol pengelolaan pemerintahan yang transparan. Hal itu berarti terjadi revolusi cara partisipasi masyarakat dalam peran politik dan demokratis karena akses publik menjadi terbuka lapang dalam menyampaikan aspirasi politiknya.

Kehadiran media baru berbasis internet dan digitalisasi memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut adalah terbukanya secara luas segala akses, interkoneksi yang kuat dan luas, memancing kreativitas dan inovatif, terbentuknya jalinan komunikasi yang populif, serta terbukanya keterlibatan publik dalam praktik politik.

Kehadiran media baru berbasis internet dan digitalisasi menjadikan ranah politik tidak lagi menjadi milik segelintir golongan namun menjadi ruang publik yang terbuka bagi setiap orang. Siapa pun yang memiliki gadget dapat dengan mudah terlibat dalam interaksi politik dan dapat dengan gampang menuangkan dan memproduksi gagasan politik sekaligus menyebarluaskan melalui 'publik dunia maya' hanya dengan gerak jemari.

Sungguh pun demikian, realita dan faktanya membuktikan bahwa aplikasi positif di atas tidak selamanya benar. Media baru berbasis internet dan digitalisasi ternyata tidak selamanya menjadi faktor positif dan produktif dalam membangun proses demokrasi dalam masyarakat. Problem-problem politis bermunculan sejalan dengan revolusi komunikasi tersebut. 

Jagat demokratis dan politik menjadi rentan karena media baru berbasis internet dan digital memicu munculnya fenoma berita bohong (hoaxes), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speechs) yang dengan mudah bisa diproduksi dengan cepat dan masal melalu gawai digital.

Proses demokrasi dan pelibatan politik diancam komunikasi media baru berbasis internet dan digital yang menjadi alat bagi tujuan meraih kekuasaan melalui politik hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian yang menimbulkan kerentanan dan keretakan demokrasi. Politik hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian tersebut diproduksi dan disebarkan secara masif melalui dunia maya dan menjadi informasi publik yang dipertukarkan.

Data yang dikeluarkan Kementrian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa peredaran hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian marak sejak 2014 dan terus meningkat dengan tajam. 

Tercatat bahwa konten negatif yang berkait dengan hoaks di tahun 2017 meningkat 900 persen dibanding 2016, dan terus meningkat di tahun 2019, serta diprediksi meningkat tajam di tahun 2021 sejalan dengan berbagai aktivitas sosial politik. Hoaks-hoaks tersebut  menyinggung sentimen suku, ras, identitas, agama, dan ujaran kebencian. 

Produksi dan penyebaran hoaks tersebut juga ada yang  terkoordinasi dan terencana dengan baik dengan terbongkarnya sindikat Saracen. Kepentingan ekonomi dan politik berkelindan dan berselingkuh dalam kasus produksi dan penyebaran hoaks tersebut.

Istilah hoaks berasal dari kata hocus yang didefinisikan secara luas sebagai menipu melalui rekayasa atau fiksi yang memikat dan nakal atau memainkan kepercayaan (Davies, 2013). Hoaks oleh Verstraete dan Bambuer (2017) diartikan sebagai berita palsu. Hoaks memiliki beberapa ciri, yaitu: (1) berita yang disajikan dan disebarkan adalah berita bohong atau palsu, (2) peristiwa yang dihadirkan dilebih-lebihkan (diheperbolakan) atau justru dihilangkan bagian-bagian tertentu, (3) teks tidak sesuai dengan gambar, (4) judul tidak sesuai dengan isi berita, (5) memuat foto peristiwa lain yang diubah sedemikian rupa untuk memunculkan dan mendukung isu yang sedang ramai diperbincangkan, dan (6) menyiarkan kembali peristiwa lama dan mengubahnya seolah-olah peristiwa aktual dengan tujuan mendukung sebuah isu.

Alcot dan Gentzkow (2017) menggolongkan hoaks sebagai artikel berita yang sengaja dibuat keliru atau dikelirukan untuk bertujuan menyesatkan pembaca atau diistilah lain sebagai 'laporan yang dibelokkan untuk tujuan menyesatkan pembacanya'. Hoaks sengaja membuat informasi keliru dengan berbagai motif, di antaranya motif ekonomi, ideologi dan politik. Hoaks merupakan sebuah tindak penipuan yang melibatkan respons publik (Boese, 2004). Sasaran hoaks adalah menyita perhatian dan menggiring imajinasi publik sesuai dengan keinginan pemroduksi hoaks, yang dalam kepentingan politik bertujuan menjatuhkan pihak yang berseberangan dengan pembuat hoaks.

Kemunculan hoaks biasanya disertai dengan kemunculan ujaran kebencian (hate speechs). Nigel Warburton (2013) memaknai ujaran kebencian sebagai ujaran untuk menyakiti orang, kelompok, atau golongan lain, baik dengan cara tindak kekerasan fisik maupun dengan kata-kata yang dapat menimbulkan penderitaan psikologis. Dalam buku Hate Speech, Sex Speech, Free Speech (2017), Nicholas Wolfson menyatakan bahwa ujaran kebencian menyebabkan traumatik secara emosional, sosial dan psikologis.

Ujaran kebencian berpotensi menciptakan dan memperkuat kebencian dan syakprasangka pada orang atau sekelompok orang dari ras, etnis, agama, gender, orientasi seks maupun jenis kelamin tertentu. Sasaran ujaran kebencian biasanya adalah orang atau sekelompok yang mengalami subordinasi dan hegomoni karena minoritas.Pada umumnya ujaran kebencian menggunakan tuturan yang bisa bersifat simbolik yang tidak baik, menyakitkan dan menghina, bahkan kasar dan mengancam yang bisa membuat tekanan psikologis para korbannya.  

Untuk mengantisipasi dan membatasi penyebaran hoaks harus melibatkan berbagai elemen. Setidaknya ada tiga elemen yang harus terlibat dalam antisipasi hoaks ini, yaitu negara, pasar (dalam hal ini pelaku industri media) dan masyarakat.

Negara harus terlibat langsung dalam antisipasi penyebaran hoaks karena negaralah yang memiliki otoritas mutlak untuk menjaga stabilitas iklim politik dalam kehidupan berbangsa. Negara memiliki kewajiban untuk membuat iklim berpolitik yang sehat yang di antaranya bebas dari hoaks. Lembaga-lembaga negara seperti badan intelijen (BIN), badan siber dan sandi negara (BSSN), kemkominfo, kementerian politik hukum dan dan keamaanan (kemenko polhukam) harus bersinergi dalam berupaya menanggulangi fenomena hoaks.

Strategi yang bisa dilakukan negara adalah yang terpenting menguatkan lebih dulu produk hukum dengan sanksi yang mengikat dan berat untuk menekan penyebaran hoaks. Dasar hukum yang kuat dan sanksi yang tegas akan menjadi pijakan kuat bagi negara dalam mengontrol dan mengantisipasi hoaks. Undang-undang Tepublik Indonesia Nomor 19 tahun 20016 tentang Informasi danTransaksi Elektronik (ITE) bisa menjadi dasar hukum yang kuat.

Pemerintah bisa mengacu pada konsep refleksi security yang digagas Ulrich Beck (Gunawan, 2018) untuk menciptakan regulasi baru dalam menata ruang siber, seperti regulasi atau aturan main bagi industri penyedia platform media, regulasi yang mengatur pembukaan domain situs (website), penerapan sanksi hukum yang berat baik berupa denda atau penjara, pembentukan pasukan cyber (cyber troops) yang efektif dan mumpuni.

Produksi dan penyebaran hoaks tak bisa dilepaskan dengan keberadaan pasar industri-industri media. Harus ada kerjasama antara produsen dan pelaku pasar dalam industri media, misalnya melaui kesepakatan baku tentang insetif finansial, penyaringan bersama dan sinergi segala bentuk konten oleh produsen industri media, pengaturan kode dan algoritma untuk menyaring prereferensi seseorang dan informasi yang diunggahnya, dan produsen industri media harus bersama-sama memverifikasi situs-situs dan kontens-kontens hoak sehingga kepentingan pasar tidak merugikan kepentingan publik dan negara.

Yang paling terpenting adalah melibatkan secara aktif peran masyarakat. Masyarakat berperan aktif untuk mengantisipasi hoaks ini sangat dimungkinkan, karena pelibatan individu sebagai partisipasi aktif dalam ranah politik sangat terbuka. Telah terjadi politik langsung, atau gerakan sub politik (Besk, 1992) yang memungkinan semua individu terlibat dalam perdebatan wacana politik. Sub politik membuka berbagai ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik. Melalui pelibatan masyarakat inilah diharapkan akan muncul konter-hoaks (kontra hoaks) yang menjadi informasi tandingan bagi hoaks.

Individu-individu pengguna gadget haruslah menjadi individu yang pasif menerima informasi, namun harus disertai proses aktif dalam menyikapi berita. Itu berarti individu-individu pengguna media atau masyarakat pengguna gadget harus memiliki kemampuan kritis dan evaluatif dalam menyaring informasi. Para pengguna media harus menjadi agen yang akktif yang bersikap kritis terhadap tsunami hoaks. Jika sikap kritis dan evaluatif ini dimiliki oleh para pengguna media, maka rantai hoaks bisa diputus. 

Dengan kata lain, sikap kritis dan evaluatif harus menjadi sebuah gerakan sehingga menciptakan critical mass sebagai benteng penolah hoaks. Masyarakat kritis tersebut pada akhirnya akan menguatkan proses demokrasi yang sehat dan cerdas. Salah satu usaha konkret yang paling memungkinkan untuk membentuk masyarakat kritis tersebut adalah melalui dengan pengembangan dan pemajuan literasi media. Hal itu merupakan tugas kita bersama!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun