Mohon tunggu...
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widarmanto Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan praktisi pendidikan

Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Pendidikan terakhir S2 di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis dalam genre puisi, cerpen, artikel/esai/opini. Beberapa bukunya telah terbit. Buku puisinya "Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak" menjadi salah satu buku terbaik tk. nasional versi Hari Puisi Indonesia tahun 2016. Tinggal di Ngawi dan bisa dihubungi melalui email: cahyont@yahoo.co.id, WA 085643653271. No.Rek BCA Cabang Ngawi 7790121109, a.n.Tjahjono Widarmanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks dan Demokrasi yang Retak

30 September 2020   08:31 Diperbarui: 30 September 2020   08:37 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Produksi dan penyebaran hoaks tersebut juga ada yang  terkoordinasi dan terencana dengan baik dengan terbongkarnya sindikat Saracen. Kepentingan ekonomi dan politik berkelindan dan berselingkuh dalam kasus produksi dan penyebaran hoaks tersebut.

Istilah hoaks berasal dari kata hocus yang didefinisikan secara luas sebagai menipu melalui rekayasa atau fiksi yang memikat dan nakal atau memainkan kepercayaan (Davies, 2013). Hoaks oleh Verstraete dan Bambuer (2017) diartikan sebagai berita palsu. Hoaks memiliki beberapa ciri, yaitu: (1) berita yang disajikan dan disebarkan adalah berita bohong atau palsu, (2) peristiwa yang dihadirkan dilebih-lebihkan (diheperbolakan) atau justru dihilangkan bagian-bagian tertentu, (3) teks tidak sesuai dengan gambar, (4) judul tidak sesuai dengan isi berita, (5) memuat foto peristiwa lain yang diubah sedemikian rupa untuk memunculkan dan mendukung isu yang sedang ramai diperbincangkan, dan (6) menyiarkan kembali peristiwa lama dan mengubahnya seolah-olah peristiwa aktual dengan tujuan mendukung sebuah isu.

Alcot dan Gentzkow (2017) menggolongkan hoaks sebagai artikel berita yang sengaja dibuat keliru atau dikelirukan untuk bertujuan menyesatkan pembaca atau diistilah lain sebagai 'laporan yang dibelokkan untuk tujuan menyesatkan pembacanya'. Hoaks sengaja membuat informasi keliru dengan berbagai motif, di antaranya motif ekonomi, ideologi dan politik. Hoaks merupakan sebuah tindak penipuan yang melibatkan respons publik (Boese, 2004). Sasaran hoaks adalah menyita perhatian dan menggiring imajinasi publik sesuai dengan keinginan pemroduksi hoaks, yang dalam kepentingan politik bertujuan menjatuhkan pihak yang berseberangan dengan pembuat hoaks.

Kemunculan hoaks biasanya disertai dengan kemunculan ujaran kebencian (hate speechs). Nigel Warburton (2013) memaknai ujaran kebencian sebagai ujaran untuk menyakiti orang, kelompok, atau golongan lain, baik dengan cara tindak kekerasan fisik maupun dengan kata-kata yang dapat menimbulkan penderitaan psikologis. Dalam buku Hate Speech, Sex Speech, Free Speech (2017), Nicholas Wolfson menyatakan bahwa ujaran kebencian menyebabkan traumatik secara emosional, sosial dan psikologis.

Ujaran kebencian berpotensi menciptakan dan memperkuat kebencian dan syakprasangka pada orang atau sekelompok orang dari ras, etnis, agama, gender, orientasi seks maupun jenis kelamin tertentu. Sasaran ujaran kebencian biasanya adalah orang atau sekelompok yang mengalami subordinasi dan hegomoni karena minoritas.Pada umumnya ujaran kebencian menggunakan tuturan yang bisa bersifat simbolik yang tidak baik, menyakitkan dan menghina, bahkan kasar dan mengancam yang bisa membuat tekanan psikologis para korbannya.  

Untuk mengantisipasi dan membatasi penyebaran hoaks harus melibatkan berbagai elemen. Setidaknya ada tiga elemen yang harus terlibat dalam antisipasi hoaks ini, yaitu negara, pasar (dalam hal ini pelaku industri media) dan masyarakat.

Negara harus terlibat langsung dalam antisipasi penyebaran hoaks karena negaralah yang memiliki otoritas mutlak untuk menjaga stabilitas iklim politik dalam kehidupan berbangsa. Negara memiliki kewajiban untuk membuat iklim berpolitik yang sehat yang di antaranya bebas dari hoaks. Lembaga-lembaga negara seperti badan intelijen (BIN), badan siber dan sandi negara (BSSN), kemkominfo, kementerian politik hukum dan dan keamaanan (kemenko polhukam) harus bersinergi dalam berupaya menanggulangi fenomena hoaks.

Strategi yang bisa dilakukan negara adalah yang terpenting menguatkan lebih dulu produk hukum dengan sanksi yang mengikat dan berat untuk menekan penyebaran hoaks. Dasar hukum yang kuat dan sanksi yang tegas akan menjadi pijakan kuat bagi negara dalam mengontrol dan mengantisipasi hoaks. Undang-undang Tepublik Indonesia Nomor 19 tahun 20016 tentang Informasi danTransaksi Elektronik (ITE) bisa menjadi dasar hukum yang kuat.

Pemerintah bisa mengacu pada konsep refleksi security yang digagas Ulrich Beck (Gunawan, 2018) untuk menciptakan regulasi baru dalam menata ruang siber, seperti regulasi atau aturan main bagi industri penyedia platform media, regulasi yang mengatur pembukaan domain situs (website), penerapan sanksi hukum yang berat baik berupa denda atau penjara, pembentukan pasukan cyber (cyber troops) yang efektif dan mumpuni.

Produksi dan penyebaran hoaks tak bisa dilepaskan dengan keberadaan pasar industri-industri media. Harus ada kerjasama antara produsen dan pelaku pasar dalam industri media, misalnya melaui kesepakatan baku tentang insetif finansial, penyaringan bersama dan sinergi segala bentuk konten oleh produsen industri media, pengaturan kode dan algoritma untuk menyaring prereferensi seseorang dan informasi yang diunggahnya, dan produsen industri media harus bersama-sama memverifikasi situs-situs dan kontens-kontens hoak sehingga kepentingan pasar tidak merugikan kepentingan publik dan negara.

Yang paling terpenting adalah melibatkan secara aktif peran masyarakat. Masyarakat berperan aktif untuk mengantisipasi hoaks ini sangat dimungkinkan, karena pelibatan individu sebagai partisipasi aktif dalam ranah politik sangat terbuka. Telah terjadi politik langsung, atau gerakan sub politik (Besk, 1992) yang memungkinan semua individu terlibat dalam perdebatan wacana politik. Sub politik membuka berbagai ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik. Melalui pelibatan masyarakat inilah diharapkan akan muncul konter-hoaks (kontra hoaks) yang menjadi informasi tandingan bagi hoaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun