Bahasa hadir dalam semua wilayah kehidupan social dan karenanya berperan sebagai sarana utama bagi kuasa simbolik yang memungkinkan terjadinya dominasi dan kekerasan simbolik. Kuasa simbolik merupakan sebuah kuasa untuk menciptakan realitas yang sifat semenanya disalah-kenali sebagai yang absah dan terberi sehingga memungkinkan terjadinya dominasi simbolik dan kekerasan simbolik.
Dominasi simbolis mengandaikan keterlibatan yang didominasi. Bukan hanya karena kepatuhan pasif atau paksaan, bukan pula penerimaan bebas terhadap sebuah nilai. Ada suatu bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok dominan yang ditanamkan secara halus.Â
Situasi seperti itu diistilahkan oleh Bourdieu sebagai doxa. Doxa merupakan sudut pandang penguasa atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal.
Dominasi simbolik membuka peluang untuk terciptanya kekerasan simbolik. Kekerasan  didefinisikan oleh Lardellier (Hayatmoko, 2010) sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan.Â
Di dalam kekerasan terdapat unsur dominasi kepada pihak lain dalam berbagai wujud; bisa verbal, fisik, gambar atau psikologis. Ungkapan nyata kekerasan bisa berupa manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, kata-kata yang menyudutkan, penghinaan, atau kata-kata kasar yang merendahkan dan mengancam.Â
Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolik yang beroperasi melalui wacana. Disebut simbolik karena dampak yang biasa biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak tampak. Tidak terdapat luka, tidak ada akibat traumatis, tidak muncul kecemasan, tidak tampak adanya ketakutan, bahkan korban tidak merasa mendapatkan kekerasan dan tidak merasa didominasi.Â
Kekerasan simbolik berjalan karena pengakuan, kesediaan dan keterlibatan suka rela yang didominasi. Hanya saja prinsip simbolis diketahui dan diterima, baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis ini berupa bahasa, cara berpikir, cara bertindak dan cara kerja. Dampak kekerasan simbolik itu halus, berlangsung melalui ketidaktahuan, pengakuan, atau perasaan korbannya .
Setiap sastrawan pasti terlibat dalam pergulatan-pergulatan fisik dan batin dengan realita-realita sosial. Keterlibatan inilah yang menyebabkan sastra begitu dekat dengan persoalan-persoalan soial. Sastra sebagai refleksi zaman selalu melihat milliu yang ada di sekitarnya, misalnya melihat dominasi kekuasaan dan segala macam praktiknya baik yang berupa dominasi simbolik maupun nyata, praktik legitimasinya, hubungan dan ketegangan kekuasaan, hingga praktik-praktik kekerasan simbolik
Bahasa tidak mungkin hadir dengan tiba-tiba tanpa peranan faktor-faktor di luar bahasa. Sistem bahasa berjalan erat sekali dengan sistem sosial budaya sehingga baik eksplisit maupun implisit, sehingga bahasa dapat menggambarkan bahkan mengarahkan konstruksi realitas sosial budaya.Â
Dengan memahami bahasa bisa digunakan alat kepentingan kekuasaan maka sejauhmana praktik kekerasan simbolik mewujud dalam bahasa menjadi sesuatu yang penting untuk diungkap sebagai sebuah penyadaran melawan bentuk hegomoni apapun.Â
Melalui pemahaman dan kesadaran bahwa bahasa bisa berpotensi sebagai alat kekuasaan dapat membangkitkan sikap waspada dan kritis bahwa di sekeliling kehidupan sosial masih banyak terdapat kekerasan simbolik yang harus dengan sadar dilawan untuk menghidari dominasi apapun.****