- "Kapankah matahari akan bersinar bagi Sarinah itoe?"...
..."Wahai wanita Indonesia....Boerdjoenglah, bangkitlah sehebat-hebatnja,
Sebab sebagai tadipoen telah koekatakan,Â
tiada orang lain dapat menolong wanita,
Melainkan wanita sendiri!"...
(Soekarno, dalam Sarinah)
Setiap bulan Desember masyarakat Indonesia merayakan Hari Ibu. Sebuah penghikmatan dan penghormatan terhadap peran seorang perempuan, seorang wanita. Namun, tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya peringatan Hari Ibu merupakan sebuah episode penting bagi perkembangan pergerakan perjuangan Indonesia.
Selama ini peringatan Hari Ibu didangkalkan hanya sebagai sekedar sebuah peringatan untuk menghargai peran wanita dalam lingkup domestiknya, hanya sebagai seorang istri dan ibu dalam kehidupan berumah tangga. Sehingga tidak heran bentuk peringatan Hari Ibu hanya menyentuh hal-hal yang tidak esensial misalnya, pemberian kado istimewa, bunga, aneka lomba untuk para ibu, aneka lomba pekerjaan wanita (dikotomi pekerjaan ini pun sangat gegar gender!) untuk para bapak, sampai pembebasan para ibu dari beban kegiatan dosmetiknya setiap hari.
Sejatinya peringatan Hari Ibu berawal dari munculnya para pejuang wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra yang mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Para pejuang perempuan; para pejuang wanita itu berkumpul utuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum mereka. Mereka memperbincangkan, mendiskusikan dan membuat garis perjuangan tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatannya dalam perjuangan kemerdekaan dan keterlibatannya dalam berbagai aspek pembangunan bangsa.
Salah satu hasil dari kongres tersebut adalah dibentuknya Kongres Perempuan Indonesia yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Adapun penetapan bulan Desember, tepatnya 22 Desember sebagai Hari Ibu baru diputuskan pada Kongres Perempuan Indonesia ke-3 di tahun 1938 dan dikukuhkan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No.136 tahun 1959.