Mohon tunggu...
Tizza Yuflih
Tizza Yuflih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sebelas Maret

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Gentingnya Generasi Milenial Hadapi Gangguan Mental

10 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 15 Mei 2024   09:37 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: leichan (facebook)

Survei Kesehatan Jiwa Remaja Nasional (I-NAMHS) telah dilakukan pada remaja usia 10-17 tahun di Indonesia. Alhasil lebih dari 17 juta remaja di Indonesia memiliki masalah dengan kesehatan mental. Ironisnya masih sangat sedikit penelitian yang memusatkan perhatian pada jumlah anak muda yang menderita gangguan mental. 

Hal ini menyoroti adanya ketidaktahuan yang melingkupi kasus ini di masyarakat kita. Gangguan mental bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja, mengingat dampaknya yang serius terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.

Apa itu gangguan mental?

Gangguan mental (mental disorder) adalah kondisi yang mempengaruhi perubahan emosi, cara berpikir, dan perilaku. Jangkauan gangguan mental sangatlah luas. Ketidakseimbangan faktor genetik, hormon, dan lingkungan semuanya berpengaruh dalam membentuk psikis seseorang.

Kemudian, gejala paling lazim yang ditemukan antara lain muncul rasa sedih, emosi, cemas, gelisah tidak menentu, mengisolasi diri, dan besarnya penghakiman terhadap diri sendiri. Dalam kondisi yang paling ekstrim, anak muda yang mengalami gangguan mental dapat dengan mudah terserang serangan panik yang intens. 

Mereka mungkin merasa terjebak dalam siklus pikiran gelap yang membuatnya merasa tidak berdaya sehingga menyebabkan perilaku merusak diri sendiri dengan benda tumpul atau tajam (barcode tangan) sebagai cara untuk meredakan rasa sakit yang mereka rasakan. Masih banyak pelampiasan yang dilakukan anak muda dengan dalih mencari ketenangan dan dijadikan solusi terbaik. Bahkan, ada kemungkinan mereka cenderung akan melakukan percobaan bunuh diri. 

Namun, diagnosa gangguan mental seringkali menjadi rumit karena adanya berbagai gejala yang muncul dan perbedaan dalam interpretasi oleh pakar kesehatan mental dan psikologi. Namun, gangguan mental tidak hanya sampai situ saja. Diagnosa lain seperti autism, bipolar, PTSD (Post-traumatic Stress Disorder), dan lainnya juga memiliki gejala yang berbeda-beda. Ini menambahkan kompleksitas dalam identifikasi dan penanganan kondisi-kondisi tersebut serta menekankan pentingnya untuk mendapatkan diagnosis yang tepat dan perawatan yang sesuai untuk setiap individu yang mengalami gangguan mental.

sumber: zonamalut.id
sumber: zonamalut.id

Fakta bahwa anak muda mengalami gangguan mental adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan. Sayangnya, dalam masyarakat masih banyak yang beranggapan bahwa tekanan batin hanyalah ketakutan yang irasional dan bisa diatasi dengan berpikir positif saja. Stigma semacam ini telah merajalela dan menjadi bagian dari kultur masyarakat kita. 

Hal ini bukan hanya sebagai ajang diselepekan saja karena gangguan mental tidak semudah disembuhkan. Selain itu, gangguan mental seringkali disamakan dengan gambaran ekstrem seperti orang gila. Namun, kenyataannya jauh lebih rumit. Hal itu bagi mereka bisa berarti berpikir untuk mengakhiri hidupnya sebagai jalan keluar dari rasa putus asa, bukan hanya karena mereka dihina atau dilecehkan secara fisik oleh teman-teman sebaya. Hal ini menyoroti pentingnya untuk mengubah pandangan kita terhadap gangguan mental, agar kita bisa memberikan dukungan yang diperlukan kepada mereka yang sedang berjuang melawan masalah ini.

Kemudian selubung narasi tentang 'positive vibes' merupakan beberapa dari sekian alasan anak muda tidak ingin membagi lukanya. Hal itu menimbulkan mindset seseorang ingin selalu memberi dampak positif kepada orang lain sehingga mereka lebih cenderung memendam beban pikirannya. 

Terkadang timbul pula kecemasan akan opini orang lain yang menjadi bahan pembicaraan di kalangan teman-temannya atau dianggap sebagai seseorang yang cari perhatian semata. Selain itu, kerancuan yang ditimbulkan dirinya menjadikan pribadi yang lebih menutup diri dan overthinking hingga hilang rasa kepercayaan kepada orang lain. Atas dasar inilah kebanyakan remaja memilih untuk menghadapi perasaan mereka sendiri yang berkecamuk tiada henti.

Ada satu alasan tersendiri mengapa isu ini penting untuk dibicarakan. Menurut data dari World Health Organization (WHO) regional Asia Pasifik, jumlah penderita gangguan mental di Indonesia mencapai 9.162.886 kasus atau sekitar 3,7% dari populasi (2018). Depresi menjadi kontributor utama kematian akibat bunuh diri yang mencapai hampir 800.000 kejadian bunuh diri setiap tahunnya. 

Terlihat terjadi kenaikan yang signifikan pada angka kasus gangguan mental ini seharusnya menjadi suatu peringatan bagi kita semua. Keputusan untuk mengakhiri hidup tidak mungkin berawal dari pikiran yang sehat. Jika kita masih menganggap diri kita sebagai manusia, maka sudah tiba saatnya untuk bertanya tentang makna dari keberadaan kita sebagai manusia. Tidak layak jika tidak ada kontribusi atau empati terhadap mereka. Apalagi diantaranya dialami oleh generasi milenial yang akan menjadi agen perubahan (Agent of Change) Indonesia Emas 2045.

sumber: leichan (facebook)
sumber: leichan (facebook)

Tulisan ini tentu tidak dapat mewakili seluruh suara generasi milenial yang sedang berjuang melawan gangguan mental. Namun, sudah saatnya kita mengakui bahwa pada masa kini harapan dan tekanan terhadap generasi muda semakin besar. Kemajuan teknologi dan informasi yang terus berkembang setiap saat telah membawa tekanan tambahan pada kesejahteraan mental para anak muda. Bukan tidak mungkin anak muda yang tampak tenang dan bahagia tidak akan menangis bahkan hingga melukai diri.

Kita perlu membuka diri untuk mendengar dan memahami perjuangan mereka dalam menghadapi gangguan mental. Penting adanya memberikan dukungan, empati, pandangan inklusif, dan peka terhadap masalah kesehatan mental. Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung bagi generasi muda untuk mengatasi tantangan hidup dengan lebih percaya diri. Konselor di lembaga pendidikan dapat menjadi gerbang pertama menuju pemahaman tentang gangguan mental bagi anak muda. 

Selain itu, penyelenggaraan seminar dan sosialisasi tentang kesehatan mental dapat membantu memperkenalkan konsep ini secara lebih luas. Semua aspek masyarakat perlu berperan dalam menciptakan sistem pendukung bagi penderita gangguan mental khususnya yang dialami generasi muda. 

Gangguan mental tidak boleh lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh atau hina. Alibi bahwa mereka orang yang 'sehat' hanya karena mereka tidak terlihat 'sakit' harus dihilangkan. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa gangguan mental itu tidak ada, tidak realistis, dan tidak valid. Dengan abai dan acuh terhadap mereka kita hanya memperparah keadaan. Semua perasaan yang tercipta dalam pikiran mereka bukanlah sebuah pilihan, melainkan cobaan.

Dengan demikian, segala pihak harus turut berpartisipasi dalam menciptakan sistem pendukung (support system) bagi para penderita gangguan mental. Apalagi hal ini kebanyakan dialami generasi milenial sedangkan mereka sangat berperan penting akan mewujudkan Indonesia Emas 2045. 

Semua penderita membutuhkan dukungan yang kuat dan stigma terhadap mereka harus ditolak. Dengan memberikan dukungan moral dan menepis stigma, kita dapat memberikan semangat dan harapan bagi mereka yang menghadapi gangguan mental. Hal itu juga dapat menekan angka kasus gangguan mental di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun