PSSI dalam kemudi Djohar Arifin harus memiliki ciri khas yang membedakannya dari kepengurusan-kepengurusan terdahulu. Akan tetapi, setiap langkah yang diambil hendaknya "berbasis pada sains dan bukti", bukan "berbasis pada kepentingan". Artinya, setiap kebijakan harus diambil setelah mengadakan riset dan analisis terlebih dahulu, bukan berdasarkan faktor “likes and dislikes” (D. Start & I. Hovland, 2004)
Sebagai teknokrat beliau harus mempercayai bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Seorang akademisi selayaknya bersikap terbuka dan menempatkan diri sebagai "Perfect Gentleman", bukan seorang "Mr. Ego”. Kita belum mengetahui kualitas yang sebenarnya dari Bapak Djohar Arifin. Saya pribadi baru mengetahui kapasitas beliau sejauh "Agenda pengalihtugasan pelatih nasional dari Alfred Riedl ke Wim Rijsbergen". Saya mengamati kepulan kabut politik yang menghalangi jarak pandang saya pada sebuah landmark terkenal bernama Estadio Maracana. Mohon maaf, jika saya sepakat dengan pernyataan Herr Riedl mengenai "Football Political Decision (FPD)". Saya sangat ketakutan bahwa FPD benar-benar terjadi sehingga menghambat persiapan PPD (Pra Piala Dunia).
EPILOG
Kiranya Bapak Djohar Arifin tidak ingin menyia-nyiakan potensi yang ada pada diri yang selama ini memberikan kontribusi bagi beliau untuk berperan bagi pembangunan sepakbola nasional. Akankah semua atribut itu sekedar berfungsi untuk menjadi “kendaraan” menuju kursi Ketua Umum PSSI, ataukah menjadi “kerangka dasar” pembangunan sepakbola nasional? Hanya Djohar Arifin lah yang mampu menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H