Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepakbola Indonesia Salah Pembinaan Usia Jelang Senior

4 Juli 2011   05:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117877" align="aligncenter" width="569" caption="Ilustrasi (tiyo widodo, 2011)"][/caption] Sepakbola Indonesia akhir-akhir ini memang semakin sarat dengan masalah. Ketidakmenentuan yang terjadi pada tubuh organisasi sepakbola nasional membuat masalah teknis menjadi terganggu. Salah satu gangguan tersebut dapat ditemukan dalam segi pembinaan. Menurut pendapat almarhum Rinus Michels, Guru Besar Ilmu "Total Football", Indonesia memiliki bakat pesepakbola usia dini yang menjanjikan, tidak kalah dari Jerman dan Brasil. Dari pendapat ini maka kita seharusnya "nyicil ayem" akan keberhasilan sepakbola Indonesia di arena internasional. Namun, kekayaan bakat usia dini menjadi sirna sejalan dengan semakin bertambahnya bilangan usia para pesepakbola kita sehingga bakat yang hebat tersebut tidak mampu mengangkat prestasi tim senior. Dalam sebuah obrolan lepas tentang sepakbola nasional bersama kawan kompasianer, Iwan Laksana, kami berusaha untuk mengurai masalah apa saja yang mengganggu jalannya pembinaan yang kontinyu. Dari diskusi santai tersebut kami menemukan sekurang-kurangnya dua penyebab: 1) pembinaan sepakbola sistem proyek, dan 2) pembinaan yang mandeg menjelang usia senior. Sudah barang tentu masih banyak kendala yang menghadang langkah sepakbola Indonesia untuk menjadi lebih baik daripada yang telah lewat. Akan tetapi, dalam kesempatan ini hanya akan dibatasi pada dua penyebab tersebut di atas. 1) Pembinaan sepakbola sistem proyek Proyek yang dimaksudkan di sini adalah pembinaan 'borongan' yang tidak menentu kelanjutannya. Saya ambilkan contoh Primavera. Hasil dari Primavera ini lumayan menjanjikan, dimana sejumlah alumninya menjadi salah satu kekuatan tim nasional pada masanya, seperti Bima Sakti, Aples Tecuari, Anang Ma'ruf, dan tentu saja Kurniawan Dwi Yulianto. Sangat disayangkan bahwasanya Primavera yang menjadi skuad inti Pra-Olimpiade 1996 tersebut tidak berkesinambungan. Alasan krisis moneter yang melanda Asia pada akhir dekade 1990an memang dapat kita jadikan alasan, namun sebenarnya bukan berarti harus menghambat pembinaan. Proyek tidak akan terlepas dari biaya. Biayalah yang menentukan tingkat keberhasilan pembinaan sepakbola tanah air. Memang benar bahwa pembinaan memerlukan dana yang sangat besar, akan tetapi jika itu menjadi alasan pokoknya, maka kini jelas kiranya bahwa pembinaan model proyek yang sering dicanangkan oleh PSSI tidaklah efektif dan efisien. Sebenarnya tidak perlu ada proyek khusus, selama pemantauan terhadap generasi penerus sepakbola Indonesia dilakukan secara rutin. Pembentukan satu squad mungkin akan menjalin kekompakan karena para pemain dibiasakan untuk bermain bersama, namun usaha ini memakan banyak biaya. Alhasil, ketika terjadi krisis keuangan maka kita tidak dapat berbuat apa-apa selain menghentikan proyek tersebut. Akan lebih baik jika pembinaan dilakukan dengan cara memantau pemain-pemain muda yang tersebar di berbagai klub peserta liga. Proyek jangka panjang telah sangat usang dan terkadang membuat pemain bosan. Mereka tidak membutuhkan sebuah proyek model komando, melainkan kesempatan untuk ikut merasakan kompetisi yang sebenarnya, berbaur dengan pemain-pemain lain dari berbagai generasi dan karakteristik. Saya istilahkan, proyek semacam Primavera, Beretti, atau SAD, justru membuat anggota skuad proyek tersebut seperti 'katak di dalam tempurung'. Manakala proyek telah selesai dan tim dibubarkan, maka mereka akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tim baru yang mereka bela. Ini telah terbukti pada skuad Primavera dan Beretti. Ketika bermain untuk klub yang berbeda, kontribusi pemain tersebut tidak nampak. Mereka hebat untuk kategori seusia mereka, tetapi 'nggembos' ketika beradu dengan kategori di atas usia mereka. Dari semua alumni Primavera, kita hanya mengenal beberapa yang relatif bertahan dalam tim nasional., sebagian besar tenggelam oleh perubahan masa. 2) Kesalahan pembinaan pada usia jelang senior Usia jelang senior di sini ialah periode seorang pesepakbola yang telah melewati usia remaja namun belum memasuki usia senior. Katakanlah, periode usia jelang senior ini diperuntukkan bagi para pemain yang berusia 20-23 tahun. Kita boleh berbangga memiliki bakat luar biasa dalam usia kanak-kanak dan remaja. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa kebanggaan tersebut tidak berlanjut pada kelompok senior. Tiap kali pemain-pemain masa depan memasuki usia senior, seperti habis kemampuan mereka. Kecenderungan yang terjadi pada mereka ialah penurunan kualitas. Keistimewaan yang mereka tunjukkan pada usia kanak-kanak hingga remaja hilang begitu saja. Alhasil, tim sepakbola senior kita menjadi lemah dan sulit bersaing dengan tim-tim dari negara lain. Berulang kali kita mendengar kecemerlangan adik-adik kita pada level yunior. Mereka tidak kalah bersaing dengan tim-tim asing. Sayang sekali bahwa cerita sukses tersebut sebagian besar gagal berlanjut pada level senior. Dari fakta ini nampaknya ada sesuatu hal yang mengganggu kelanggengan prestasi sebuah generasi sepakbola yang kita miliki. Tim anak-anak hingga remaja relatif lebih sukses dibandingkan tim usia jelang senior (20-23 tahun). Dalam obrolan lepas dengan sejumlah teman sepermainan di Pleburan Semarang, salah satu penyebab terputusnya generasi andalan sepakbola nasional adalah hilangnya pengawasan kepada para pemain yang telah memasuki usia jelang senior (20-23 tahun). Masalah yang muncul berhubungan dengan perkembangan psikologis pemain, di mana pada usia tersebut permasalahan hidup semakin kompleks karena mereka sedang memasuki tingkat kehidupan yang lebih dewasa. Banyak remaja yang masih labil dan memerlukan bimbingan yang intensif agar memasuki masa "transisi" dari usia belasan tahun menuju usia dua-puluhan tahun dengan "selamat'. Situasi ini tak terkecuali juga melanda pesepakbola remaja. Godaan pergaulan sangat mengganggu konsentrasi mereka, antara melanjutkan karir sepakbola atau mengikuti "tren" yang umumnya dijalani oleh remaja kebanyakan. Dari sinilah masalah muncul. Sudah barang tentu prestasi menjadi terganggu karena perhatian telah tidak terfokus lagi pada sepakbola. Padahal, di samping bakat dan keinginan pemain, pengawasan dari pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan sepakbola juga sangat penting peranannya. Peran tersebut sepertinya belum dijalankan secara optimal. Tidak ada penjaminan yang mantap bagi para pesepakbola usia jelang senior sehingga perhatian mereka terpecah. Akibatnya, potensi tinggallah potensi yang terpendam oleh berbagai masalah di luar sepakbola yang menghambat perkembangan si pemain tersebut. Terima kasih kepada kawan-kawan diskusioner dari Horahore University/Winning Eleven College Pleburan Semarang Jawa Tengah (hihi...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun