Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya Sedang Mencari Sistem Pendidikan

9 April 2011   06:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:59 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Penjelasannya demikian: Pembangunan ekonomi membutuhkan sinergi yang kuat antar berbagai bidang usaha baik produksi barang maupun jasa. Kerjasama antar bidang usaha ini sebagai wujud simbiosis mutualisme. Memang demikian sebaliknya jika ingin roda perekonomian rakyat terus berputar. Sebuah usaha yang sangat positif.

Usaha positif di atas tampak wajar-wajar saja dan tidak perlu dipermasalahkan. Begitu pula yang ingin diutarakan di sini bukan untuk memicu timbulnya masalah, melainkan sekedar apa yang tertangkap dari tender kerjasama tersebut. Pertama, bahwa pada setiap sampul depan (cover) soal Ujian Akhir Sekolah (UAS) terdapat tulisan “Rahasia; Milik Negara”. Kata “rahasia” ini mengacu pada soal UAS berikut kunci jawabannya. Dalam hal ini yang terlibat didalam pembuatan soal bukan hanya Departmen Pendidikan Nasional melainkan pihak “luar”, yakni perusahaan percetakan. Adakah jaminan bahwa kerahasiaan soal dan kunci jawaban tidak akan mengalami kebocoran? Tidak seorangpun yang dapat menjamin hal tersebut. Tentu saja pihak Depdiknas telah mempertimbangkan segalanya, termasuk resiko kebocoran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi sangat riskan apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat. Mungkin saja langkah kerjasama ini ditempuh karena keterbatasan sumber daya pembuatan soal yang dimiliki oleh Depdiknas sehingga memerlukan pihak luar untuk dijadikan rekanan bisnis.

Kedua, berkaitan dengan kerjasama ini maka akan muncul biaya pembuatan soal (biaya produksi). Seperti yang tertera di dalam proposal bahwa pembuatan soal menghabiskan biaya sekian ratus juta. Dengan demikian, dari manakah Depdiknas memperoleh dananya? Tentu saja dari anggaran pemerintah. Namun kembali pada pernyataan di UUD 1945, khususnya dalam penjelasan, bahwa pemerintah hanya memberi kontribusi 20% saja. Pemerintah sudah pasti memiliki keterbatasan karena anggaran bukan hanya untuk pendidikan. Jika hal ini terjadi maka institusi pendidikan akan membebankan “sebagian” biaya kepada “stakeholders”nya, yakni pihak siswa. Sedangkan tanpa kerjasama pihak luar saja biaya sulit dijangkau, apalagi dengan kerjasama pihak luar? Artinya, pihak rekanan pasti menginginkan keuntungan (profit orientation).

Nuansa bisnis terlihat pula dalam pengadaan buku paket. Jika pihak sekolah benar-benar beritikad baik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa mereka dapat menginstruksikan para pengajarnya untuk memberikan pelajaran dengan cara yang sederhana. Sederhana di sini ialah bahwa cukup pengajar saja yang memiliki buku paket, kemudian mereka mengajarkan materi dalam buku tersebut di depan kelas dan meminta para siswa untuk mencatat dalam bukunya sendiri.

Metode ini terkesan tidak efisien karena memakan waktu. Akan tetapi memberikan dampak positif: siswa tidak wajib atau harus membeli buku paket, siswa menjadi terbiasa menulis dan terbiasa membuat “note taking”. Biasanya tulisan sendiri akan lebih nyaman dibaca dibandingkan tulisan orang lain. Sarana bukanlah mutlak karena bergantung cara menggunakannya. Pengajar menjadi kreatif untuk memberikan penjelasan yang terdapat pada buku cetak dibandingkan berkata, “coba buka halaman sekian..anak-anak…”

MENGHAPUS ISTILAH “SEKOLAH FAVORIT”

Ada dua pengertian mengenai sekolah favorit ini. Pertama, Sekolah yang menjadi favorit karena prestasinya yang bagus, melebihi prestasi sekolah lainnya. Kedua, sekolah yang sejak awal di-plot menjadi favorit sehingga murid-murid berprestasi saja yang dapat lolos seleksi masuk sekolah tersebut.

Sebenarnya, sekolah favorit itu muncul dengan sendirinya pada saat sebuah sekolah mencapai prestasi terbaik. Persepsi pengamatlah yang akan menilai apakah atribut

“favorit” layak atau tidak layak untuk disematkan. Maka dari itu, tak perlu kiranya memberikan gelar “sekolah favorit” karena pasti kemudian akan muncul “sekolah bukan favorit” (logikanya demikian). Perlakuan harus diberikan semua kepada setiap institusi sehingga dampaknya akan positif bagi siswa. Siswa tidak akan merasa “lain” atau “dibawah/diatas normal” dan mungkin juga merasa minder karena tidak bersekolah di sekolah yang disebut “favorit” tadi.

DIVERSIFIKASI ORIENTASI PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang yang masuk ke perguruan tinggi, antara lain: 1) untuk meningkatkan derajat pendidikan keluarga; 2) untuk menimba ilmu lebih banyak agar menjadi ilmuwan; 3) untuk memperoleh gelar tingkat Diploma, Sarjana, dan Pasca Sarjana sebagai bekal untuk bersaing di dunia kerja; dan 4) untuk tujuan-tujuan lain yang tidak dapat disebutkan di sini karena beragam jenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun