PENDAHULUAN
Sistem Pendidikan Nasional masih terus mengalami penyesuaian. Dengan kata lain, pendidikan nasional belum mencapai keadaan yang stabil. Perubahan terus dilakukan menuju ke arah perbaikan. Meskipun demikian, hingga saat ini belum diperoleh hasil yang memuaskan. Tidak perlu mencari-cari letak kesalahan (bila memang ada yang salah tentang pendidikan nasional). Yang diperlukan sekarang adalah kesadaran bersama baik dari penyelenggara pendidikan maupun peserta pendidikan.
Permasalahan pendidikan nasional adalah seputar ketidakseimbangan antara hasil dan pengeluaran yang dipakai untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Pendidikan di Indonesia identik dengan biayanya yang mahal bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Harus diakui bahwa perkembangan bidang ekonomi berpengaruh terhadap warna pendidikan. Kebergantungan ini begitu jelas terlihat. Bahwasanya perubahan harga pasasr kebutuhan manusia (yang berarti “harga naik”) membuat hampir semua bidang kehidupan menjadi bertambah mahal.
TIDAK ADA PENDIDIKAN ‘GRATIS’
Di dalam Undang Undang Dasar NKRI 1945 yang telah diamandemen terdapat pernyataan yang intinya “pendidikan dibiayai oleh negara/pemerintah”. Pernyataan ini bukan berarti warga yang bersekolah “dibayar” atau ‘dibebaskan dari biaya sekolah.” Perlu dicermati bahwa “permainan kata” penyusun UUD ini dapat menjebak pemahaman tentang sistem pembiayaan pendidikan Indonesia.
Penyusun UUD pasti telah dengan sangat cermat memilih kata-kata sedemikian rupa sehingga pelaksanaan dari UUD tersebut “terkendali”. Dalam artian, jangan sampai istilah “dibiayai” sama dengan istilah “gratis.”
Pemerintah dapat saja berkilah bahwa membiayai berarti membantu semampunya. Akan berbeda makna bila pernyataan yang digunakan adalah “pemerintah menanggung sepenuhnya biaya pendidikan.”
Pembahasan singkat mengenai UUD 1945 dalam masalah pendidikan di atas mengingat adanya kesalahan persepsi, bahkan oleh beberapa mahasiswa yang notabene adalah elite pendidikan di negeri ini. Dengan pengertian bahwa “dibiayai” berarti “gratis”, maka timbul harapan besar akan memperoleh kesempatan bersekolah tanpa membayar (memang menurut kabar terdapat beberapa daerah yang menyelenggarakan pendidikan gratis; namun hal ini baru dalam skala minoritas).
Harapan pendidikan gratis menyebabkan kekecewaan yang lebih mendalam ketika mengetahui bahwa kenyataannya berbicara sebaliknya. Bahkan cenderung bertambah mahal.
MENGHAPUS NUANSA BISNIS PADA PENDIDIKAN DASAR
Beberapa waktu lalu saya menjumpai suatu hal yang ganjil. Kesan pertama biasa saja, bahkan saya merasa senang sekali mendapatkan order ketikan proposal kerjasama antara instansi pendidikan dan sebuah perusahaan percetakan. Senang karena ketikannya banyak sekali, sekitar 400 lembar. Proposal itu berisikan tender pengerjaan soal ujian akhir nasional tingkat sekolah dasar. Lalu, apakah yang menarik dari order ketikan itu?