Mohon tunggu...
Prinz Tiyo
Prinz Tiyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - I just don't like the odds.

I just don't like the odds.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Sepakbola Indonesia Itu.....

2 April 2011   17:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:11 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kisah asmara antara sepakbola dan politik telah terjalin sejak lama.Seruan “jangan politisasi” sepakbola sepertinya hampir mustahil untuk diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalam sepakbola maupun di dalam politik. Justeru dengan adanya istilah “politisasi sepakbola”, atau lebih luasnya “politisasi olahraga” ini menunjukkan bahwa selama ini sepakbola memiliki konsentrasi politik yang sangat pekat.

Keterlibatan elite politik dalam sepakbola telah berlangsung sejak awal penyelenggaraan Piala Dunia. Setelah edisi pertama digelar di Uruguay (1930), terjadi “naturalisasi pemain yang terpaksa” oleh Italia, tuan rumah FIFA World Cup 1934 guna memenuhi target juara dunia waktu itu untuk melengkapi hegemoni fasisme di bawah komando Benito Mussolini. Italia berhasil menjadi juara di tengah kekhawatiran dan rasa takut orang akan peperangan dan intimidasi. “Juara atau mati”, demikian seruan yang dikumandangkan oleh Fasis Italia. Empat tahun berikutnya, dan sangat beruntung sekali Indonesia juga ikut menjadi saksinya karena ikut serta di bawah bendera Dutch East Indies, pada partai final terjadi aksi-aksi intimidasi dari sejumlah pemain Italia terhadap pemain Hungaria. Penjaga gawang Hungaria kala itu, Gyula Szengeler, seperti membiarkan bola meluncur ke gawangnya karena ancaman dari berbagai penjuru.

Berlanjut pada Edisi keempat, FIFA World Cup 1950 di Brazil. Persaingan antara Uruguay dan Brasil juga bernuansakan fanastisme kebangsaan, di mana politisi cenderung ikut intervensi di dalamnya. Ini belum seberapa, korban yang lebih merasakan kejamnya intervensi politik kala itu adalah Jerman. Kekalahan Jerman dari tentara Sekutu (“dibantu” oleh Rusia pula) membuat Jerman dilarang tampil di Brasil. Memang, Eropa daratan pada saat itu luluh lantak oleh peperangan. Banyak negara yang absen karena perang.

Piala Dunia 1982 di Spanyol. Dunia dikejutkan oleh Aljazair yang mampu mengalahkan Jerman Barat dan berpeluang lolos ke babak knock-out. Apa daya, “kedekatan” Jerman Barat dengan Austria menghambat laju wakil Afrika; musnahlah impian Rabah Madjer dkk untuk mengukir sejarah (kelak, Madjer membalas tuntas perlakuan ini di Wina, 1987).

Piala Eropa juga berkesempatan untuk mencicipi nuansa politik. Ingatkah dengan manifestasi “kisah fantasi” HC Andersen pada diri tim Dinamit Denmark? Denmark berangkat ke Swedia 1992 berkat “bantuan” PBB (cq. UEFA dan FIFA) karena melakukan embargo terhadap Yugoslavia akibat perang saudara. Ini juga sarat akan muatan politik. Masih banyak campur tangan politik di dalam olahraga. Kita mengenal Cathy Freeman dan Zola Budd, dua atlet yang menjadi korban sentimen politik. Kehadiran keduanya dipolitisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ehm, maka dari itu, politisasi sepakbola sepertinya akan terus berlangsung. Meskipun top organisasi sepakbola adalah entitas yang indipenden dari pemerintah, namun cerita demi cerita terus menuturkan kepada kita betapa politisi sangat berpengaruh terhadap eksistensi sebuah lembaga sepakbola. Orang Prancis mengenal birokrat fanatik Le Pen yang mengkritisi pemain keturunan Afrika, politisi Jerman pun pernah mendapatkan pukulan telak akibat kasus Patrick Owomoyela.

Logikanya, kita tidak akan mengenal istilah “politisasi sepakbola” jika sepakbola tidak bersinggungan dengan politik. Kita tidak akan mengenal semboyan “let us kick racism out of football” jika rasisme tidak ada dalam sepakbola.

Sekarang adalah bagaimana bahwa campur tangan politisi di dalam sepakbola itu berjalan dengan elegan, halus, simpatik, dan menguntungkan semua pihak. Untuk dapat memanfaatkan sepakbola sebagai kendaraan politik, diperlukan strategi yang cermat sehingga langkah ini juga menguntungkan orang banyak. Seorang penguasa pasti ingin dikenang sebagai orang yang berjasa memajukan bangsanya. Bilamana ia memiliki musuh, akan tetapi hasilnya masih membekas dan dapat diperbandingkan pada suatu saat di masa depan. Pada saat perang dingin sedang memanas (haha, lha wong perang dingin kok memanas ya...lucu). Hehe, maksud saya, pada saat terjadi perang dingin antara Blok Barat (NATO) dan Blok Timur (Pakta Warsawa), muncullah sebuah gerakan bernama Gerakan Non Blok. Pemimpin Indonesia waktu itu, Soekarno, adalah salah satu pelopornya. Ia mampu menggalang gerakan anti-blok ini karena kharismanya sangat kuat, totalitasnya terhadap bangsa juga luar biasa. Ia muncul pada saat yang tepat bagi bangsa Indonesia. Soekarno bahkan mengadakan sebuah event olahraga bernama Ganefo sebagai salah satu mercu suar kekuatan politik yang tidak memihak NATO maupun Pakta Warsawa. Ini gerakan riil meskipun tidak bertahan lama. Sepakbola dijadikan kendaraan politiknya. Saya mengatakan sepakbola sebagai kendaraan politik karena sepakbola adalah bagian dari olahraga.

Pada Era Soeharto, sepakbola tetap menjadi ujung tombak pembangunan olahraga Indonesia. Meskipun pada era ini Indonesia memiliki cabang olahraga andalan lain, yakni bulutangkis. Sepakbola tetap menjadi primadona. Lahirlah proyek pembinaan Garuda. Keberhasilan Soeharto ialah mengkuningkan semua unsur olahraga di Indonesia, dari lapisan teratas hingga lapisan terbawah. Satu komando dan tidak ada kompromi. Soeharto mencanangkan program pembangunan olahraga di seluruh tanah air dengan semboyan “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga.” Ini adalah bujukan politis yang ikut membesarkan namanya sebagai pemimpin bangsa Indonesia.

Memasuki era sekarang masyarakat semakin “melek informasi”. Pendidikan politik, meskipun masih jauh dari sempurna, boleh dikatakan telah mendingan lah...hehe.

Berarti, apakah saya mendukung politisasi sepakbola? Ehm, tentu saja saya tidak mendukung. Telah banyak korban yang berjatuhan akibat campur tangan politisi di dalam sepakbola. Kalaupun politisasi itu terpaksa harus dilakukan, maka hemat saya lakukanlah dengan cara yang elegan, simpatik, penuh pertimbangan, tidak menimbulkan keretakan. Politisasi dunia olahraga, jika mustahil untuk dihapuskan, harus visioner, bukan reaksioner. Politisasi olahraga, jika memang sangat sulit untuk dihindarkan, harus bertujuan untuk melawan “musuh” kita sesungguhnya, yakni siapapun dan apapun yang mengancam kehormatan negara; bukan untuk membasmi sesama warga negara. Sekali ini terjadi, maka seterusnya akan memunculkan semangat “menuntut balas”. Bersikaplah ksatria karena sikap ini adalah mulia (percuma kan menyandang nama “ksatria” jika tidak mampu bersikap demikian? Hehehe)

Our game is fair play, isn’t it?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun