Zakat adalah salah satu pilar dalam rukun islam sebagai bentuk tindakan sosial yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Kewajiban tersebut disebutkan dalam Al Qur'an berulang kali bersanding dengan kewajiban sholat (Muhammad, Saad, 2016). Secara teknis, zakat merupakan sejumlah uang atau barang yag diambil dari harta yang telah memenuhi syarat haul dan nisab dan diserahkan kepada muzakki. Zakat adalah harta tertentu yang dikeluarkan apabila telah mencapai syarat yang diatur sesuai aturan agama, dikeluarkan kepada 8 asnaf penerima zakat. Zakat yang dihimpun, dikelola, didistribusikan serta didayagunakan dengan baik memiliki potensi yang sangat besar untuk membantu menyelesaikan permasalahan negara, yaitu masalah kemiskinan, kelaparan, pendidikan, sampai kesehatan. Â Â Â Â Â
     Dari segala jenis aktivitas program yang dilakukan oleh lembaga pengelola zakat untuk mencapai tujuan dari zakat yaitu untuk mensejahterakan dan memberikan keadilan bagi masyarakat khususnya para mustahik/orang-orang yang berhak atas zakat. Di sisi lain, PBB telah menginisiasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau biasa disebut Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan agenda pembangunan global berkelanjutan yang telah mendapatkan sebuah kesepakatan dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). SDGs sebagai inisiatif kelanjutan dari platform sebelumnya yaitu Millenium Development Goals (MDGs). Meskipun cakupan bidang SDGs terbilang sangat luas, hal ini tetap disusun dengan mempertimbangkan berbagai realitas nasional, kapasitas dan tingkat pembangunan yang berbeda-beda serta menghormati kebijakan dan prioritas nasional. Sebagai produk, SDGs merupakan hasil dari kesepakatan multi pihak dan sebuah proses yang bersifat transparan, partisipatif dan inklusif terhadap semua suara pemangku kepentingan selama tiga tahun yang panjang.
     Potensi keterkaitan dan irisan antara zakat dengan SDGs tidak hanya pada program, melainkan juga dengan para pelaku yang mungkin terlibat, di samping itu SDGs juga mensyaratkan adanya kerjasama diantara multi stakeholder di masyarakat. Selain itu, kemungkinan muncul keterkaitan lain dari pendekatan dan cara pengelolaan program, alokasi sumber daya, penerima program zakat, hingga pertanggungjawaban dan akuntabilitas di dalam mencapai tujuan dan hasil yang diharapkan.
     Kontribusi zakat untuk mendukung SDGs juga didukung dengan adanya UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang menyebutkan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, khusus di dalam Pasal 3 di UU yang sama menjelaskan bahwa pengelolaan zakat bertujuan; 1) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat, 2) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
     Umumnya irisan antara SDGs dan zakat bertemu dalam sebuah objektif untuk mengurangi kemiskinan. Beberapa pendapat dan pandangan muncul mencoba mengaitkan satu per satu dari poin-poin SDGs dengan interpretasi atas kerja zakat khususnya dari sudut penerima manfaat dan peruntukkan zakat. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kontribusi zakat terhadap SDGs saat ini berfokus pada 5 tujuan yaitu Goal 1: Menghapus Kemiskinan, Goal 2: Mengakhiri kelaparan, Goal 3: Kesehatan yang baik dan kesejahteraan, Goal 4: Pendidikan Bermutu, dan Goal 5: Air bersih dan sanitasi. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa di setiap tujuan SDGs merupakan poin-poin yang seluruhnya sesuai dengan zakat, atau tepatnya dapat didukung oleh kerja zakat, dll (BAZNAS, 2017).
- Â Â Â Â Â Zakat dan SDGs harus dipastikan bahwa keduanya memiliki keterkaitan agar setara maka harus didudukan pada konsep yang setara. Zakat dalam Islam memiliki tujuan yang merujuk pada tujuan syariah atau yang disebut Maqashid Syariah. Di sisi lain, SDGs memiliki tujuan untuk pembangunan, sehingga untuk menempatkan peran zakat setara maka yang perlu diperbandingkan adalah dengan melihat relevansi dan prioritas dari masing-masing tujuannya, yaitu untuk Maqashid Syariah.
- Â Â Â Â Â Secara bahasa, Maqashid Syariah terdiri dari dua kata yakni, maqashid dan syariah. Maqashid dalam bentuk jamak dari maqshid yang berarti kesengajaan atau tuuan, syariah berarti jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Menurut asy-Syatibi, maqashid syariah merupakan tujuan syariah yang lebih memperhatikan kepentingan umum. Maqashid Syariah dibangun atas dasar bahwa syariat yang telah Allah tetapkan melalui sumber-sumber utama ontology Islam, yakni Al-Qur'an dan Sunnah, dibangun atas tujuan kemaslahatan, bukan bagi individu saja melainkan untuk sosial (Muzlifah, 2013).
- Â Â Â Â Â Menurut BAZNAS, zakat sebagai instrument pembangunan ekonomi islam untuk kepentingan kemaslahatan, peranan zakat sebagai instrument dengan tujuan untuk mereduksi konsentrasi kekayaan, menyalurkan dana dari yang berlebih kepada yang membutuhkan, sehingga cita-cita pembangunan yang lebih merata dan adil akan tercapai. Pengelolaan zakat yang harus dipastikan sesuai dengan nilai-nilai fundamental yang dimiliki ekonomi islam, maqashid syariah telah sepantasnya digunakan sebagai basis perimbangannya, setidaknya inspirasi dari perspektif maqashid syariah itu sendiri.
Dari penjelesan di atas, diduga kuat bahwa zakat dan SDGs memiliki relevansi yang signifikan. Hal ini karena zakat merupakan instrument pembangunan ekonomi islam yang menempatkan maqashid syariah sebagai tujuan pelaksanaannya. Hampir semua poin yang terdapat pada SGDs berada pada jalur maqashid syariah. Karena cakupan yang lebih sempit dibandingkan dengan maqashid syariah, SDGs dapat dijadikan acuan tujuan antara bagi zakat untuk memenuhi tujuan besar pembangunan yang tercermin pada maqashid syariah.Â
      SDGs dapat digunakan sebagai tujuan antara yang menghubungkan zakat dengan pencapaian maqashid syariah. Namun, dikarenakan SDGs hanya mencakup sebagian subtansi dari komponen maqashid syariah di luar agama, maka zakat memerlukan modifikasi dengan infiltrasi aspek agama ke dalam tujuan-tujuan yang dicanangkan. Lebih lanjut, posisi zakat dan SDGs juga perlu diklarifikasi lebih lanjut. Relevansi keduanya seharusnya bukan hanya berimplikasi pada kebolehan dana zakat untuk pembiayaan proyek-proyek SDGs. Konsep tersebut terlalu pragmatis dan mengecilkan zakat itu sendiri. Faktanya, zakat merupakan konsep yang utuh. Berbicara zakat berarti bicara sebuah gerakan yang tidak terpisahkan dari ekonomi Islam itu sendiri.
      Maka dari itu, paradigma zakat juga harus masuk dalam SDGs, bukan hanya dananya. Kembali lagi, paradigma yang secara jelas absen dalam SDGs adalah paradigma bahwa agama merupakan kunci dari kebahagiaan (maslahah) di kehidupan setelah kematian. Maka dari itu, komponen agama harus masuk kedalam insitiaf-inisiatif SDGs yang ada, agar pembangunan zakat tetap sesuai dengan maqasid syariah dan juga berada pada kereta yang sama dengan arus utama pembangunan di dunia (BAZNAS, 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Amil Zakat Nasional. (2017). Sebuah Kajian Zakat on SDGs Peran Zakat untuk SDGs untuk pencapaian Maqashid Syariah. Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS.Â
Badan Amil Zakat Nasional. (2018). Statistik Zakat Nasional 2017. Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional
Muhammad, S. A., & Saad, R. A. J. (2016). Moderating Effect of Attitude toward Zakat Payment on the Relationship between Moral Reasoning and Intention to Pay Zakat. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 219, 520-527.
Muzlifah, E. (2013). Maqashid syariah sebagai paradigma dasar ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, 3(02), 73-93.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/24/berapa-jumlah-penduduk-muslim-indonesia, diakses pada 02 Juni 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H