Mohon tunggu...
Tiyas Nur Haryani
Tiyas Nur Haryani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Administrasi Negara FISIP UNS, peminat studi gender, tinggal di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Shoping Politik dalam Balutan Iklan Ramadhan

4 Agustus 2013   22:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:37 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1375628618484675011

[caption id="attachment_270661" align="aligncenter" width="300" caption="gambar diambil dari www.sleepcious.blogspot.com"][/caption] Bulan Ramadhan menjadi moment bagi para kandidat politik bangsa untuk memperkenalkan diri mereka kepada publik dan/atau mengingatkan publik kembali pada figur-figur mereka. Seluruh partai politik peserta pemilu 2014 mungkin saja telah memasang iklan ramadhan mereka di media televisi, media cetak bahkan lewat papan reklame. Mereka masih sekedar menawarkan figur ansih mereka. Program dan terobosan memang belum terlihat diiklankan. Masyarakat harus mulai cerdas mulai dari sekarang. Kehadiran media massa sekaligus kepemilikan para kandidat atas media massa tersebut membuat publik harus mulai berliterasi media. Jangan sampai publik kembali menjadi korban iklan. Istilah “korban iklan" ternyata tidak hanya ditujukan untuk produk komersil, tapi juga pada masa – masa kampanye seperti sekarang ini rakyat sebagai pemilih bisa menjadi korban iklan politik yang marak dilakukan oleh para kontestan pemilu.

Fenomena iklan politik tidak dapat dielakan di era kebebasan media seperti sekarang ini. Pertanyaan yang akan muncul adalah apakah iklan politik tersebut mampu menjadi alat untuk mencapai alat untuk mencapai tujuan dan target yang dimaksud? Sebagai sarana pendongkrak popularitas, mungkin dengan beriklan hal tersebut bisa tercapai. Hal inilah yang ditakutkan, bila dalam pesta demokrasi 2014 nanti rakyat hanya menjadi korban dari iklan – iklan politik yang muncul di media – media informasi tanah air. Bisa saja masyarakat yang tingkat pendidikan politiknya rendah, mereka akan memilih sosok yang paling sering muncul di media massa dengan figur ansihnya dalam sebuah iklan politik yang ditawarkan. Mereka memilih tanpa melihat visi misi dari para kontestan pemilu. Sangat disayangkan.

Dalam iklan politik tentu berbeda dengan iklan jual beli. Sesungguhnya dalam beriklan politik para kontestan sebenarnya menjadi pembeli bukan penjual, para kontestan pemilu tersebut beriklan untuk membeli jabatan yang mereka inginkan. Untuk membeli jabatan itu mereka harus mencari modal suara pemilih.

Menurut Effendi Gozali ( 2003 ) iklan merupakn sihir yang terwujud dalam tiga bentuk : yaitu mengintimidasi, mendominasi, dan memanipulasi. Melalui iklan politik mereka dapat mendominasi suara yang mampu mereka peroleh dalam pemilu nanti. Bagi para beberapa politisi, iklan merupakan salah satu kendaraan politik bagi mereka untuk mempermudah mereka mendapatkan suara yang banyak dari para pemilih.

Semoga rakyat dapat memilih yang benar – benar bisa membawa aspirasi rakyat, membangun bangsa ini lebih maju, tidak hanya memilih dengan alasan siapa yang paling sering muncul di TV atau siapa atau yang mana yang paling sering dilihat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun