Sapaan pada embun kala pagi hadir, rasanya aku sudah lupa bagaimana itu disaat kawan-kawan banyak yang bertutur tentang senja, yang hanya tumpukan waktu yang mulai menggelap dengan sedikit kecantikannya yang elok. Lama tak ku dapati sajak yang bercerita pagi.
Dulu, langkah kaki kecil itu keluar bersama embun, masihia dapati hamparan lahan yang diisi rumput hijau dan sedikit kabut di atasnya. Tembok besar kini menjulang, tak ada lagi kabut pagi, tak lagi ku rasakan sapaan pada embun. Kendaraan roda besi itu kini melaju semakin kencang, mengejar nafas kehidupan entah deru kecukupan. Emisinya membuat langit kota tak seramah dulu.
Embun..apakah mereka masih mencarinya. Dulu, raga kecil itu mencoba menanyakan embun pada alam, raga kecil itu mencoba mencari embun, siapa itu embun, dan bagaimana sosoknya. Ruang kelas yang sering bertutur tentang embun pagi, membuat jiwa kecil itu penasaran.
Sekarang saat pagi ku membuka mata di Solo yang tengah menggigil ini, tak aku rasakan sapaan pada embun. Tak aku temui lagi capung dalam langit bumi tua ini. Kupu-kupu dengan sayap warna-warninya, hanya sesekali aku lihat terbang di antara pohon yang dapat dihitung.
River hill, kota seberang yang masih karesidenan dengan Kota Solo, mungkin disana masih ada embun, mungkin disana masih banyak orang tua yang mendongeng tentang embun. Mungkin anak-anak disana masih ada yang mencoba mencari tahu sosok embun itu.
Solo, 16 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H