Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - SEO Specialist

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Angka Perkawinan Menyusut, Apa Sebabnya?

8 November 2024   12:35 Diperbarui: 8 November 2024   12:38 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiyarman Gulo - Pernahkah kamu merasa bahwa pernikahan, yang dulu dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup, kini mulai jarang terdengar? Angka perkawinan di Indonesia memang menunjukkan penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Mungkin kamu bertanya-tanya, apa sih yang sebenarnya menyebabkan angka perkawinan turun? Apakah generasi muda kini semakin enggan untuk menikah? Atau ada alasan lain yang mendasari perubahan besar ini?

Kalau kamu merasa bingung atau penasaran, kamu nggak sendirian. Banyak yang merasa bahwa pernikahan bukan lagi menjadi prioritas utama, terutama di kalangan generasi muda. Beberapa orang malah merasa cukup bahagia menjalani kehidupan tanpa perlu terikat dalam sebuah ikatan pernikahan. Tapi, kenapa bisa begitu ya? Mari kita coba urai dan pelajari lebih dalam penyebab turunnya angka perkawinan ini.

"Angka perkawinan di Indonesia menurun karena kemandirian, tantangan ekonomi, kesadaran kesehatan mental, dan pandangan baru generasi muda tentang pernikahan."

1. Kemandirian yang Meningkat

Salah satu alasan utama yang banyak dibicarakan adalah meningkatnya kemandirian, terutama di kalangan generasi muda. Dulu, pernikahan seringkali dianggap sebagai tahap yang "wajib" dalam hidup, seperti sebuah tujuan yang harus dicapai. Namun, kini semakin banyak orang yang merasa bahwa mereka bisa hidup mandiri, menjalani kehidupan dengan kebebasan yang lebih besar.

Dalam dunia yang semakin global dan terhubung, banyak individu yang merasa bahwa mereka bisa mengejar pendidikan, karier, dan impian tanpa perlu bergantung pada pasangan. Ini terutama terlihat di kalangan perempuan, yang semakin memiliki kesempatan untuk berkarier dan mandiri secara finansial. Kemandirian ini memunculkan pandangan bahwa pernikahan bukan lagi sebuah keharusan atau suatu pencapaian hidup yang harus dipenuhi.

Sebagai contoh, banyak perempuan muda yang lebih memilih untuk mengejar karier atau pendidikan tinggi, tanpa merasa harus menikah di usia muda. Mereka merasa lebih bebas menentukan arah hidup mereka sendiri tanpa harus mempertimbangkan pasangan atau keluarga besar. Ini tentu berpengaruh besar terhadap angka perkawinan yang semakin menyusut.

2. Faktor Ekonomi yang Menantang

Pernikahan memang membutuhkan persiapan yang matang, terutama dari segi finansial. Biaya hidup yang semakin tinggi, harga rumah yang melonjak, serta ketidakpastian ekonomi membuat banyak pasangan menunda pernikahan mereka. Di kota-kota besar, semakin banyak orang yang merasa belum siap menikah karena mereka lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan meraih stabilitas ekonomi terlebih dahulu.

Bahkan, tak jarang kita mendengar cerita tentang pasangan yang ingin menikah, tapi harus menunda karena tidak mampu memenuhi biaya pernikahan yang semakin mahal. Bayangkan saja, biaya pesta pernikahan, biaya hidup setelah menikah, dan kebutuhan lainnya, semua itu memerlukan dana yang tidak sedikit. Belum lagi, banyak pasangan muda yang merasa tertekan dengan tanggung jawab besar setelah menikah, baik dalam hal mendukung keluarga maupun memiliki anak.

Di sisi lain, banyak juga yang merasa bahwa dengan kondisi ekonomi yang belum stabil, mereka lebih baik menunda pernikahan sampai benar-benar memiliki kesiapan finansial. Hal ini tentu mempengaruhi keputusan untuk menikah di usia muda, yang semakin menurun dari tahun ke tahun.

Angka Perkawinan Menyusut, Apa Sebabnya | image: detik
Angka Perkawinan Menyusut, Apa Sebabnya | image: detik
3. Kesadaran Akan Kesehatan Mental dan Emosional

Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan emosional, banyak orang mulai berpikir ulang sebelum memutuskan untuk menikah. Sebelum mengikat janji sehidup semati, banyak individu yang lebih memperhatikan kesejahteraan mental mereka sendiri. Mereka menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar soal kebahagiaan sementara, tetapi juga tentang kesiapan emosional dan mental yang matang.

Hal ini berhubungan erat dengan fenomena menunda pernikahan hingga usia yang lebih dewasa. Banyak orang yang ingin memastikan bahwa mereka siap secara mental untuk menjalani pernikahan, yang tentu saja membutuhkan kesabaran, pengertian, dan kompromi. Tidak sedikit juga yang merasa bahwa mereka lebih baik menyendiri atau hidup mandiri ketimbang terjebak dalam hubungan yang mungkin saja tidak sesuai dengan harapan.

Pernikahan bukan lagi dianggap sebagai jalan keluar dari kesepian atau tekanan sosial. Banyak orang yang kini memilih untuk menjalin hubungan dengan pasangan tanpa harus menikah, karena mereka merasa lebih bahagia dengan status tersebut. Mereka lebih memilih untuk mengutamakan kebahagiaan pribadi daripada merasa terpaksa untuk menikah demi memenuhi ekspektasi masyarakat.

4. Pengaruh Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memberi dampak yang sangat besar terhadap segala aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Banyak pasangan yang merencanakan pernikahan terpaksa menunda atau bahkan membatalkan rencana mereka akibat situasi yang tidak pasti. Pembatasan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan kekhawatiran akan masa depan membuat banyak orang merasa lebih was-was untuk melangkah ke jenjang pernikahan di tengah ketidakpastian tersebut.

Selain itu, pandemi juga mengubah cara orang memandang hubungan. Sebagian orang mulai menyadari bahwa mereka bisa hidup tanpa pernikahan, karena selama masa isolasi sosial, mereka bisa menjalani kehidupan secara mandiri. Bahkan, beberapa pasangan yang sebelumnya tinggal bersama atau sudah bertunangan merasa lebih nyaman untuk melanjutkan hubungan tanpa harus terikat secara legal.

Bukan hanya pasangan muda yang menunda pernikahan, tetapi juga mereka yang sudah berusia lebih matang. Banyak orang merasa bahwa prioritas hidup mereka selama pandemi adalah bertahan secara ekonomi dan menjaga kesehatan, bukan merencanakan pesta pernikahan yang megah.

5. Perubahan Pandangan Generasi Muda Tentang Pernikahan

Seiring berjalannya waktu, pandangan generasi muda tentang pernikahan memang mengalami perubahan. Dulu, pernikahan seringkali dianggap sebagai langkah penting dalam hidup yang mengarah pada kebahagiaan dan stabilitas. Namun, saat ini pernikahan mulai dipandang lebih sebagai pilihan pribadi, bukan kewajiban yang harus dijalani.

Banyak anak muda yang merasa bahwa mereka tidak perlu menikah untuk merasa lengkap atau bahagia. Bahkan, beberapa orang merasa bahwa mereka bisa hidup dengan pasangan tanpa harus melalui proses pernikahan secara formal. Ada yang merasa bahwa ikatan emosional jauh lebih penting daripada status sosial atau administratif yang diberikan oleh pernikahan.

Selain itu, pernikahan seringkali dikaitkan dengan banyak aturan dan tanggung jawab yang cukup besar. Di tengah kesadaran akan pentingnya kebebasan pribadi, banyak anak muda yang merasa lebih nyaman dengan hidup yang lebih fleksibel dan tanpa komitmen besar yang mengikat. Ini tentu mempengaruhi minat mereka untuk menikah.

6. Tantangan dalam Menjalin Hubungan Jangka Panjang

Selain faktor ekonomi dan kemandirian, tantangan dalam menjalin hubungan jangka panjang juga menjadi salah satu faktor turunnya angka pernikahan. Banyak orang yang merasa bahwa hubungan yang langgeng membutuhkan kerja keras dan kompromi yang tidak mudah. Banyak pasangan yang takut akan perceraian atau ketidakbahagiaan dalam pernikahan, sehingga mereka memilih untuk menunda pernikahan atau bahkan menghindarinya sama sekali.

Di era digital seperti sekarang, hubungan menjadi lebih mudah untuk dimulai, tetapi juga lebih mudah berakhir. Akses ke media sosial dan aplikasi kencan memungkinkan orang untuk mencari pasangan dengan lebih cepat, namun hal ini juga meningkatkan rasa skeptis terhadap hubungan jangka panjang.

Angka Perkawinan Turun, Apakah Ini Menjadi Masalah?

Secara keseluruhan, penurunan angka perkawinan di Indonesia bukan hanya karena satu faktor saja, tetapi karena perubahan sosial, ekonomi, dan pandangan hidup generasi muda yang semakin berkembang. Kemandirian yang semakin tinggi, tantangan ekonomi, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, serta perubahan pandangan terhadap pernikahan itu sendiri menjadi alasan utama mengapa banyak orang lebih memilih untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan.

Apakah ini berarti bahwa pernikahan menjadi kurang penting? Tidak juga. Pernikahan tetap menjadi pilihan hidup yang berarti bagi banyak orang, tetapi generasi muda kini semakin berpikir lebih matang dan rasional dalam membuat keputusan besar seperti ini. Mungkin, angka perkawinan yang menyusut ini bukan masalah, melainkan refleksi dari perubahan zaman yang semakin mengedepankan kebebasan dan kesadaran pribadi.

Bagaimana menurutmu? Apakah kamu setuju dengan pandangan ini, atau ada faktor lain yang juga berpengaruh? Yuk, bagikan opini kamu di kolom komentar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun