Hukum Indonesia, Hemi Lavor Febrinandez, menilai pemblokiran beberapa website oleh Kominfo sebagai kegagalan Kominfo dalam menerapkan tata kelola hukum digital di Indonesia. Â Hemi melihat kasus ini menunjukkan bahwa negara sepertinya ingin menunjukkan taringnya kepada Big Tech. Artinya, ketika tidak mengikuti aturan main yang ada di Indonesia, mereka tidak akan takut untuk menjatuhkan sanksi.
PenelitiNamun yang tidak diperhatikan Kominfo adalah dampak sosial dari penerapan regulasi yang nampak dipaksakan yang berakibat kepada masyarakat Indonesia. Menurut Hemi, beberapa kelompok masyarakat sipil telah dirugikan oleh Kominfo, dengan mengacu masalah pada Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, yaitu masalah dasar PSE di sektor swasta.
Baca Juga : Manfaatkan Digital Marketing untuk Hasilkan Uang, Jangan Ragu untuk Memulai Usaha!
Ada beberapa aturan yang bisa mengancam kebebasan sipil di ruang digital. Contohnya adalah ketentuan dalam Pasal 9 ayat (4), yang melarang PSE swasta menyiarkan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
"Istilah gangguan publik dapat diartikan secara bebas dan dapat dengan mudah digunakan untuk mengkriminalisasi individu dan kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Apalagi frasa yang sama tidak ada dalam UU ITE sebagai induk aturan lahirnya Permenkominfo ini, sehingga dimungkinkan untuk menjelaskan adanya aturan ini adalah rekayasa." -Hemi Lavor Febrinandez
Pemblokiran beberapa Unit Usaha swasta dan hadirnya Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 tidak hanya merugikan penyelenggara layanan digital, namun pada akhirnya mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi, dan data publik di ruang digital.
Saat ini, penting bagi pemerintah dan Kominfo untuk merendahkan diri, mendengarkan dan menindaklanjuti opini publik, sehingga undang - undang yang diusulkan benar - benar memberikan perlindungan dan bahkan tidak mengancam kebebasan berbicara, kebebasan menggunakan internet, pada masyarakat.
Baca Juga : Mengenal Bisnis Afiliasi
Pada kesempatan yang lain, Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate, mengatakan pihaknya sudah mengikuti opini publik dan melakukan normalisasi beberapa layanan. Johnny menyebut ada tujuh perusahaan yang belum mendaftar, seraya menegaskan pihaknya telah berupaya berkomunikasi dengan perusahaan - perusahaan tersebut dari kedutaan negara sahabat. Untuk PayPal dan Steam, Johnny mengatakan timnya telah menormalkan, namun dengan catatan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H