Artificial Intelligence (AI) telah membawa perubahan besar dalam dunia kerja, mempengaruhi cara manusia bekerja dan jenis pekerjaan yang tersedia. Teknologi ini memungkinkan otomatisasi berbagai tugas rutin yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, sehingga meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Dalam sektor manufaktur, misalnya, penggunaan robot telah menggantikan tenaga kerja manusia untuk pekerjaan repetitif dan berisiko tinggi, memberikan dampak positif dalam mengurangi biaya operasional perusahaan (Smith, 2020, hlm. 45). Tidak hanya itu, AI juga telah digunakan dalam logistik untuk lebih meningkatkan efisiensi dalam pengiriman barang-barang dan sektor finansial untuk mendeteksi penipuan dalam menganalisis tingkat risiko investasi. Meski banyak yang bisa diambil dari sisi manfaat perubahan ini, tidak saja membawa keuntungan melainkan dapat menimbulkan dampak atau masalah yang tidak menyenangkan. Kehilangan pekerja pada beberapa jenis pekerjaan akibat otomatisasi menjadi isu wacana. Menurut laporan World Economic Forum, sekitar 83 juta pekerjaan diprediksi akan hilang pada tahun 2027 akibat adopsi teknologi AI yang semakin masif. (Brown & Taylor, 2022).
Namun demikian, hilangnya beberapa jenis pekerjaan tidak berarti bahwa dunia kerja akan sepenuhnya kehilangan peluang. Sebaliknya, AI juga menciptakan banyak pekerjaan baru. Profesi seperti ilmuwan data, AI engineer, dan analis data kini menjadi semakin diminati, memberikan kesempatan bagi individu yang memiliki keterampilan teknis di bidang ini (Johnson et al., 2021). Dalam dunia pemasaran digital, algoritma berbasis AI digunakan untuk menganalisis perilaku konsumen dan merancang strategi pemasaran yang lebih efektif. Terlebih lagi, kreatifitas pekerjaan yang memerlukan kemampuan berpikir kritis dan interaksi sosial masih sulit diambil alih oleh mesin (Perez, 2020). Seni dan desain misalnya, AI mampu memberikan konsep dasar, tetapi hasil akhirnya yang membutuhkan interpretasi keindahan dan rasa manusia masih menjadi tugas senimannya.
Proses transformasi ini memberikan penjelasan bahwa manusia tidak sepenuhnya digantikan dengan AI, namun lebih kepada kolaborasi antara manusia dan teknologi. Dalam banyak kasus, AI digunakan untuk mendukung manusia dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dan akurat, seperti dalam analisis data, pengambilan keputusan, atau bahkan diagnosis medis (Smith, 2020). Contohnya, di bidang kesehatan, AI digunakan untuk menganalisis data pasien dengan cepat dan memberikan rekomendasi awal kepada dokter, yang kemudian akan memverifikasi hasil tersebut berdasarkan pengalaman klinis mereka. Dengan cara ini, AI mengurangi beban kerja tenaga medis serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Namun, transformasi tersebut tidak sepenuhnya memiliki dampak positif. Salah satu tantangan terbesar adalah adanya kebutuhan keterampilan dan pelatihan ulang tenaga kerja guna beradaptasi dengan perubahan ini. Thus, the training programs aimed at the development of technical and nontechnical skills became very important. Misalnya, kemampuan dalam pemrograman, analisis data, serta pemahaman etika dan keamanan teknologi menjadi keahlian utama yang dibutuhkan untuk bersaing di era AI (Brown & Taylor, 2022). Di sisi lain, regulasi yang jelas dan etis mengenai penggunaan AI juga perlu segera diterapkan untuk mengurangi risiko pelanggaran privasi, bias algoritma, atau dampak negatif lainnya. Karena itu, pemerintah dan perusahaan harus dapat bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang memastikan bahwa implementasi AI memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat tanpa mengorbankan keamanan serta kesejahteraan sosial (Perez, 2020).
Penerapan AI juga memunculkan dilema etis yang memerlukan perhatian serius. Sebagai contoh, dalam proses rekrutmen berbasis AI, algoritma terkadang memperlihatkan bias terhadap gender atau ras tertentu karena data historis yang digunakan untuk melatih algoritma tersebut memiliki bias serupa. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan dan memperburuk ketimpangan sosial yang sudah ada (Smith, 2020). Oleh karena itu, diperlukan audit algoritma secara berkala serta transparansi dalam penerapan AI untuk memastikan hasil yang adil dan bebas bias. Regulasi tentang etika penerapan AI juga harus mencakup prinsip akuntabilitas sehingga setiap hasil yang dihasilkan oleh algoritma dapat dievaluasi secara kritis.
Penting untuk dipahami bahwa dampak AI dalam dunia kerja tidak hanya dirasakan di sektor-sektor formal. Teknologi ini juga mulai mengubah cara kerja sektor informal, seperti ojek daring dan jasa pengiriman. Dalam sektor ini, AI digunakan untuk mengatur rute pengiriman yang optimal dan menentukan harga layanan berdasarkan permintaan pasar secara real-time (Perez, 2020). Namun, dengan inovasi tersebut menghasilkan efisiensi, pengemudi atau pekerja sering merasa tertekan oleh algoritma yang sulit dipahami dan menimbulkan kekhawatiran mengenai eksploitasi teknologi sebagai permasalahan keamanan lainnya yang serius. Maka, transparansi penggunaan algoritma juga jadi PR yang harus dipecahkan.
Dengan kolaborasi efektif antara manusia dan AI, dunia pekerjaan bisa lebih produktif dan efisien. Perusahaan seharusnya menggunakan AI sebagai pendukung dan bukan menggantikan pekerja manusia. Dalam bidang layanan pelanggan, misalnya, AI dapat menangani pertanyaan dasar, sementara pekerja manusia fokus pada penyelesaian masalah yang lebih kompleks (Smith, 2020). Selain itu, pendidikan tentang AI harus diintegrasikan ke dalam kurikulum agar generasi mendatang siap menghadapi tantangan dan peluang yang muncul di era teknologi ini. Kesadaran tentang manfaat dan risiko AI perlu terus ditingkatkan di kalangan masyarakat agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan yang sedang berlangsung.
Dalam pendidikan, pengenalan tentang teknologi AI sejak dini dapat membantu siswa memahami konsep dasar-dasar algoritma dan data, yang merupakan hard-skill penting dalam masa depan. Training di tempat kerja sesuai dengan tuntutan terhadap era digital dapat menekan kemungkinan terjadinya pengangguran karena otomatisasi proses. Misalnya, program magang dari perusahaan teknologi boleh menjadi alternatif atau solusi dalam mengenalkan generasi muda pada dunia pekerjaan di era pegunu-gunaan AI. Pendekatan ini tidak hanya membantu tenaga kerja baru untuk beradaptasi, tetapi juga memastikan keberlanjutan keahlian di era digital (Brown & Taylor, 2022).
Selain pendidikan, adaptasi teknologi AI juga memerlukan investasi besar dari pihak perusahaan dan pemerintah. Perusahaan memastikan infrastruktur digital yang mendukung, seperti sistem perangkat lunak canggih dan data yang aman untuk penerapan AI berjalan dengan baik. Di sisi lain, pemerintah perlu menyediakan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah pekerja. Dengan adanya insentif ini, perusahaan tidak hanya fokus pada keuntungan finansial tetapi juga memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja (Perez, 2020).
Penerapan AI dalam dunia kerja pada akhirnya adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, kemajuan besar dan peluang baru terbuka; di sisi lain, kesiapan individu, perusahaan, dan pemerintah dituntut untuk menghadapi tantangan yang menyertainya. Kita perlu memastikan bahwa transformasi ini berjalan secara inklusif, adil, dan etis, dengan memprioritaskan pengembangan keterampilan manusia dan menetapkan regulasi yang mendukung keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan (Johnson et al., 2021). Dengan demikian, pekerja masa depan akan jauh lebih adaptif, lebih inovatif, serta lebih mendukung kesejahteraan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H