Mohon tunggu...
Tiya Maulida Radam
Tiya Maulida Radam Mohon Tunggu... -

mahasiswi Pendidikan Matematika Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM). staf redaksi LPM Kinday UNLAM. penulis -pemula-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FSC] Untuk Masa Depanku

14 Agustus 2011   02:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dear lelaki bijaksana.

Ini bukan lagi sekedar 'aku sayang kamu, kamu sayang aku' lalu kita mengikatkan diri dalam sebuah hubungan yang (hanya) berlandaskan kata 'status'. Merasa ini sudah lebih dari cukup untuk bisa berkata dengan angkuh, "dia milikku" sambil membentangkan garis polisi agar orang lain tak bisa lagi menyentuhnya. Sebutlah dengan 'hubungan anak muda', rasa yang hanya dilandasi keposesifan dengan alasan kasih sayang.

Kita bukan lagi anak muda, setidaknya bilangan umur kita bukan lagi kisaran masa-masa labil yang dengan seenak hati berganti-ganti pasangan jika merasa tak cocok. Kita tak lagi memandang hubungan hanya untuk merasakan kasih sayang dari seseorang yang kita anggap spesial. Lebih dari itu. Kita untuk masa depan. Masa depan dimana disanalah sebenarnya peran kita dalam hidup begitu signifikan.

Kita untuk masa depan berarti kita untuk sebuah keluarga baru. Untuk sebuah tujuan mulia menciptakan generasi-generasi berikutnya. Maka aku tak lagi mencari seseorang yang bisa kubanggakan fisik dan pemikirannya di hadapan keluarga dan kawanku, itu seperti bentuk keegoisanku sendiri. Aku mencarimu, seorang calon pemimpin yang bisa mengimami hari-hariku, figur bapak bagi anak-anakku kelak, juga menjadi salah satu bagian yang bisa membaur di keluargaku.

Masa depan bukan untuk main-main. Maka aku belajar untuk menghilangkan unsur masa lalu yang bisa menodai perjalanan ke masa depanku, atau setidaknya meleburkannya menjadi mozaik-mozaik kisah lampau yang akan mengkayakan kisah hidupku, tanpa mengganggu masa depanku.

Ah, tapi tetap saja aku menganak-anak. Cemburuku berlebihan, benar begitu? Masih tak bisa kukontrol. Aku serius, sungguh serius dengan hubungan ini. Kecemburuanku bukan unsur keposesifan. Trauma masa lalu, mungkin. Sebuah bentuk lain dari keterjebakan masa lalu yang pernah kualami. Lalu menjadikanku begitu takut akan masa lalumu, berusaha mencari tahunya dengan atau tanpa sepengetahuanmu, untuk sebuah kewaspadaan jika saja mereka kembali menginginkan dirimu. Ah, egoku!

Cemburu. Ya aku cemburu dengan mereka, yang membutakanku. Meski sudah kupikirkan dengan logika, aku bahkan belum mengenalmu saat kalian begitu dekat seperti itu, tetap saja ada semacam keperihan luar biasa melihat atau mengetahui kalian kembali dekat. Cemburuku keliru.

Aku salah, aku tahu. Masa lalu adalah masa lalu. Terima atau tidak, mereka adalah titian takdir yang membawa kita ke masa kini. Tanpa masa laluku, tanpa masa lalumu, tak akan ada masa kini di mana kita saling mengenal. Tanpa dia, dia, dan dia mungkin aku tak akan pernah menemukanmu. Tanpa dia, dia, dan dia mungkin kita tak akan jadi pribadi-pribadi seperti sekarang.

Maka jika saja tak naif, aku mestinya berterimakasih pada masa lalu ketimbang takut memikirkannya.

-kamarku, hari kesebelas di bulan kemerdekaan, setahun sejak kita bertemu-

Nama Peserta: Tiya Maulida
Nomor Peserta: 163

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun