Bisa dilihat bahwa mahar yang telah diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita seketika itu menjadi milik prbadi calon mempelai wanita.
Dari beberapa artikel yang saya baca mahar bisa juga dikatakan sebagai nafkah awal dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai bentuk dan jenis mahar yang diberikan.
Bagaimana jika terjadi perceraian apakah mahar dapat diminta kembali? Seperti artikel yang ditulis oleh syariahonline.com :
Jika yang meminta cerai adalah pihak suami (thalak) maka isteri tidak bekewajiban untuk mengembalikan mahar tersebut. Sedangkan jika pihak istri yang meminta cerai (khulu’) maka ia wajib mengembalikan pemberian suami tersebut kepadanya.
Hal itu berdasarkan hadits di bawah ini Dari Ibnu ‘Abbas RA:“Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: “wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibannya) dalam Islam”
Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab: ia. Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: “terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak” (HR Bukhori, Nasa’y dan Ibnu Majah. Nailul Authar 6/246)
Saya melihat kasus ini seperti sinetron dalam kehidupan nyata. Saya pikir kenapa Farhat Abbas tidak merelakan saja mahar yang sudah diberikan karena mahar (Mas kawin) adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya.
Kalau memang merasa dirugikan mengenai status pernikahan memang dari awal tidak dicek kebenarannya secara terperinci? Saya pikir sebagai pengacara pastinya lebih melek hukum. Kalau mau melaporkan kasus penipuan kenapa juga harus membawa-bawa mahar yang sudah diberikan untuk dikembalikan.
sumber terkait :