Mohon tunggu...
Sofah D. Aristiawan
Sofah D. Aristiawan Mohon Tunggu... Penulis - Sofah D. Aristiawan

Pengagum Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman

3 Juni 2023   16:40 Diperbarui: 6 Juni 2023   16:04 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Oktober lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengangkat tema "Leave No One Behind" untuk memperingati Hari Pangan Sedunia sebagai pengingat akan kondisi global hari-hari ini. FAO ingin mengatakan, terlepas dari berbagai kemajuan pembangunan dunia, pada faktanya masih saja banyak orang yang sedikit atau bahkan tak mendapatkan manfaat dari capaian pembangunan tersebut.

Our World in Data menemukan bahwa pada 2019 sekitar 663 juta orang di seluruh dunia masih bergulat dengan problem kekurangan gizi, sementara sekitar 697 juta orang menghadapi kerawanan pangan. Sedang menurut FAO, pada tahun 2021 kelaparan menimpa sekitar 828 juta orang di seluruh dunia.

Situasi Indonesia juga tak kalah memprihatinkan. Global Hunger Index (GHI) 2022 mencatat tingkat kelaparan Indonesia masih berada di skor 17,9 dari 100, menjadikannya tertinggi ketiga di Asia Tenggara setelah Timor Leste (30,6 persen) dan Laos (19,2 persen). Tahun 2021, menurut BPS, ada 17 juta orang atau 6,3 persen di Indonesia masih menghadapi kelaparan. Selain itu, 8,49 persen atau sekitar 23,5 juta penduduk Indonesia mengalami kerawanan pangan.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia dengan potensi sumber daya alamnya yang besar, tetapi masih saja berkutat pada problem kelaparan dan rawan pangan, yang artinya belum juga memiliki ketahanan pangan yang kuat?

Masyarakat adat dan sistem pangan

Ketersediaan pangan memang menjadi salah satu dari sebab munculnya problem ketidakcukupan pangan dan kelaparan. Karenanya, selama rentang tahun 1960-an sampai 1980-an, inisiatif yang dikenal sebagai program Revolusi Hijau mengalami pertumbuhan pesat di Asia dan Amerika Latin. Berbagai organisasi donor dan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, percaya pada program tersebut karena memang pada waktu itu mampu menyediakan pasokan pangan yang cukup.

Namun, dewasa ini, Revolusi Hijau telah dikritik keras karena dipandang sebagai akar penyebab dari situasi pangan dan lingkungan hari-hari ini. Terlepas dari keberhasilannya dalam meningkatkan produksi pangan, kenyataannya hal tersebut mesti dibayar mahal oleh alam. 

Karenanya, dari berbagai riset mutakhir menjelaskan perlunya kita #BersamaBergerakBerdaya untuk kembali memodifikasi pola makan kita, meminimalkan limbah, mendiversifikasi sistem pangan kita, dan mengadopsi metode ramah lingkungan dan iklim sebagai trajektori pembangunan dunia yang berkelanjutan dengan pasokan makanan yang aman.

Sistem pertanian Subak di Bali (sumber: antaranews.com)
Sistem pertanian Subak di Bali (sumber: antaranews.com)

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa metode yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan global dan nasional, yakni dengan melibatkan kembali beragam pangan, termasuk budidaya tanaman. Salah satu studi yang dilakukan Delphine Renard (Nature, 2019) mengungkapkan bahwa negara dengan jumlah tanaman yang ditanam lebih banyak juga memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih tinggi. 

Jika terjadi krisis air yang disebabkan perubahan iklim, negara-negara yang menanam berbagai jenis tanaman memiliki risiko lebih rendah mengalami kekurangan pangan. Hal ini disebabkan keanekaragaman budidaya tanaman pangan mengimbangi penurunan hasil jenis tanaman tertentu dengan mengandalkan jenis tanaman lain yang lebih tahan terhadap misalnya kekeringan dan penyakit.

Cerita soal tanaman pisang menjadi contoh pentingnya keanekaragaman hayati. Saat ini, perkebunan pisang di seluruh dunia terancam Fusarium oxysporum, jamur yang merusak tanaman pisang Cavendish. 

Kendati begitu, wabah tersebut tidak berdampak signifikan pada pertanian pisang di Asia Tenggara dan Afrika. Di wilayah ini, penduduk membudidayakan ratusan varietas pisang yang secara alami tahan terhadap jamur.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Nature (2023), Alexandre Antonelli, Direktur Sains Royal Botanic Gardens di London, menyarankan agar pencarian sumber makanan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dipenuhi dengan menengok kembali tanaman yang selama ini kurang dimanfaatkan, juga kerabat liar tanaman pangan utama saat ini. 

Untuk memastikan keberhasilan upaya ini, sangat penting bahwa masyarakat adat, yang memiliki sejarah panjang dalam memanfaatkan sumber daya ini, terlibat memimpin dalam proses tersebut.

Sejumlah penelitian yang dilakukan di dalam negeri maupun internasional menunjukkan bahwa masyarakat adat menghuni wilayah yang kaya keanekaragaman hayati, di mana keharmonisan dengan lingkungan alam sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka. Komunitas-komunitas ini mempertahankan hubungan yang kuat dengan wilayah mereka dan memanfaatkan sistem dan praktik pengetahuan lokal untuk melestarikan, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam di dalam wilayah mereka.

Karena mata pencaharian dan budaya masyarakat adat terjalin dengan alam, mereka telah mengembangkan sistem dan praktik unik untuk melindungi wilayah mereka, yang merupakan bagian integral dari identitas mereka. 

Melalui pemanfaatan pengetahuan dan tradisi adat, pengelolaan tanah adat mereka terbukti berkelanjutan. Akibatnya, ekosistem dan spesies di kawasan di bawah pengelolaan adat cenderung kurang terdegradasi dibandingkan kawasan lain.

Menurut Damayanti Buchori, Guru Besar Departemen Proteksi Tumbuhan IPB, pengetahuan lokal yang diwariskan masyarakat adat biasanya kaya akan kearifan dan memiliki rasa hormat yang mendalam terhadap alam. 

Dalam presentasinya, ia memberikan contoh sistem pertanian Subak di Bali yang telah terbukti mampu menjaga keseimbangan alam, menghambat serangan hama, dan mempertahankan proses biogeokimia.

Masyarakat nelayan dari timur Indonesia, khususnya Maluku, memberikan contoh lain keberhasilan perlindungan sumber daya alam, terutama laut mereka melalui penerapan sistem sasi. Sistem ini memberlakukan pembatasan pemanenan sumber daya laut tertentu selama periode tertentu. 

Menurut Damayanti, sistem sasi menunjukkan pemahaman yang signifikan terhadap prinsip-prinsip ekologi dan populasi ikan, dengan mempertimbangkan siklus reproduksi ikan dan mengutamakan konservasinya.

Karo, sebuah wilayah di Sumatera Utara, adalah rumah bagi sistem ngumbung, rebu, dan begu. Istilah ngumbung mengacu pada larangan yang dikenakan pada individu untuk mengunjungi ladang setelah panen selesai karena kepercayaan bahwa itu adalah rebu atau tabu. 

Menurut mitos setempat, ladang tersebut dihuni oleh roh-roh mistis. Namun, dari sudut pandang ekologis, sisa panen dapat memberikan makanan bagi berbagai jenis satwa liar seperti misalnya burung dan tikus yang pada akhirnya menciptakan, bahkan mampu menjaga rantai makanan. Hal ini memberikan kesempatan bagi manusia untuk memberikan ruang bagi alam untuk berkembang.

Singkatnya, masyarakat adat di Indonesia memang memiliki kekayaan kearifan lokal yang telah terbukti dapat menjaga keberlangsungan pangan dan kelestarian lingkungan. 

Sayangnya, sistem pangan lokal ini telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena kebijakan pemerintah yang monokultur sisa-sisa pemikiran dalam sistem Revolusi Hijau.

Tak mengherankan, menurut Global Food Security Index (GFSI), rendahnya keragaman makanan pokok juga menjadi salah satu sebab ketahanan pangan Indonesia tak kunjung menguat.

Damayanti mengatakan, pengetahuan lokal masyarakat adat berakar pada praktik inovasi dan adaptasi yang telah berlangsung selama berabad-abad untuk mengatasi beragam tantangan lokal. Akibatnya, pengetahuan ini biasanya disesuaikan dengan situasi atau keadaan lokal tertentu dan sangat mudah beradaptasi dengan konteks yang berbeda.

Kebijaksanaan semacam ini yang terkandung dalam pengetahuan lokal masyarakat adat sering diabaikan oleh sains modern. Padahal, pengetahuan ini berorientasi pada alam: #UntukmuBumiku, dengan menentang eksploitasi penuh sumber daya dan malah sebaliknya menekankan pentingnya berbagi, bahkan dengan spesies lain. Ini sangat berbeda dengan prakarsa berorientasi produksi seperti Revolusi Hijau yang mengutamakan keuntungan daripada pemerataan distribusi.

Dengan demikian, untuk memastikan keberlanjutan kehidupan di planet ini, kita mesti #BersamaBergerakBerdaya dengan sekali lagi kembali menengok pengetahuan masyarakat adat tentang sistem pangan. Kebijaksanaan ini mestilah dicari dan diimplementasikan. Menemani kampanye "Leave No One Behind", lagu Koes Plus berjudul "Kolam Susu" bisa juga dijadikan pengingat bahwa pengetahuan lokal mampu menjawab problem pangan dan lingkungan hari-hari ini, bukan saja Indonesia, tetapi juga dunia.

Kali dan jala cukup menghidupimu...

Ikan dan udang menghampiri dirimu...

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman...

Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa, nih? Boleh dong tulis di kolom komentar, ya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun