Tentu tak salah, gairah “lantangkan ide-ide berbahayamu” itu mengisi tumbu pewadah maha-siswaku yang penuh elan masa muda untuk turut ambil peran. Ada konsekuensi logis saat kita memilih satu diantara lain, tentu kita tak akan merasakan konsekuensi -dengan baik buruknya- diantara lain itu, yang dalam bahasa ekonomi sederhana: opportunity cost.
Lantas, buatku harus memilih diantara apa yang bagi Budiman Sudjatmiko dalam autobiografinya, Anak-Anak Revolusi sebagai pilihan-pilihan “mulia”, pilihan yang mustahil dijalani bersamaan olehnya saat itu: “menyenangkan kedua orang tua dengan menyelesaikan kuliah, memberi kepastian masa depan kehidupan pribadi yang jelas bagi kekasih yang mau dinikahi, dan menyelesaikan tugas-tugas perubahan politik”.
Teranglah apa yang ia pilih, kelak sejarah dengan huruf kecilnya itu turut andil meluruskan kembali sejarah yang “disusun sesuai selera kelas yang berkuasa” –konsep yang tak salah dari Gramsci menyoal “hegemoni”, pula ikut terlibat merumuskan masa depan sejarah dengan huruf kapital. Bagiku, Budiman memilih pilihan tepat -dengan konsekuensi baik buruknya- bagi maha-siswa yang hidup di masa itu.
Aku sadar, hidupku ada di masa yang tak sama –masa represi itu telah mati. Lalu, tak ada premis bagiku untuk mustahil menjalani bersamaan pilihan-pilihan “mulia” itu. Toh, sejarah dengan huruf kapital memang mungkin telah berakhir, “setelah revolusi tak ada lagi”. Yang ada hanya sejarah dengan huruf kecil yang bertebaran terus disekitar kita.
Masa represi itu telah mati. Penggalan kisah “Pak Tua” dalam Pecundang karya Maxim Gorky yang kusebut diatas –memaknai kehidupannya seperti “seekor kuda yang sudah lama menganggur, kini mulai bergerak tak terduga-duga, menolak untuk menyerah pada kehendak mereka yang memegang kendali tak berperikemanusiaan, kejam, dan buta”.
Sepenggal kalimat “mereka yang memegang kendali tak berperikemanusiaan, kejam, dan buta” itu telah mati. Memang tak salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Karena masa kini, “mereka” hadir dengan rupa lain: soft-spoken. “Seekor kuda” itu harus bergerak teratur memungut serpihan-serpihan sejarah dengan huruf kecil, semisal esai berjudul UU Pendidikan Tinggi Dalam Jerat Kapitalisme (yang dimuat laman Indoprogress tahun 2013) dari Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, yang keras menentang praktik komodifikasi pengetahuan juga banalitas intelektual yang marak di perguruan tinggi.
Esai itu salah serpihan yang menyusun teratur satu demi satu puzzle sejarah dengan huruf kapital –bahkan percaya dan sadar sampai mematahkan tesis “setelah revolusi tak ada lagi”. Tak sedikit, bahkan tak sulit alasnya dicari, seperti potret kegaduhan penuntutan penolakan kapitalisasi perguruan tinggi di Perancis tahun 1968 yang legit terekam dalam salah banyak bab novel karya Leila S. Chudori berjudul Pulang. Kisah romantika Dimas Suryo yang berkelana di Eropa sebagai eksil politik 1965 mengenal Vivienne Devereaux -maha-siswi Universitas Sorbonne yang ikut memimpin penolakan itu. Bagiku, elan muda Vivienne Devereaux itu tercermin nyata dalam sosok Camila Vallejo, gadis muda pemimpin gerakan maha-siswa Chile tahun 2011 dalam menolak praktik privatisasi pendidikan.
Ragam kisah heroik dengan waktu dan tempat berbeda, namun bertema besar sama: menolak untuk privatisasi pendidikan, kapitalisasi perguruan tinggi, dan komodifikasi pengetahuan. Premis familiar bagi keanekaragaman maha-siswa juga isu yang mengena langsung keseharian maha-siswa -terlebih kampusku baru berganti status PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang secara sederhana, kampus diberi otonomi seluas-luasnya mengurusi rumah tangganya: akademik juga nonakademik- yang dikemas lewat ragam agitasi dan bentuk propaganda, meminjam Robertus Robet dengan gubahanku, “menemukan realitas empirik yang tampak nyata oleh panca indra, lalu bergerak masuk temui realitas aktualnya sebelum mendapati pemahaman akan relasi yang terdalam dari struktur berupa kekuasaan dalam realitas realnya”.
Isu yang berterbangan sebelum akhirnya hinggap di istana –mengganggu tidur “mereka” yang baru rupa. Premis kena bagi “seekor kuda” yang bergerak memungut serpihan kecil sejarah guna, seperti yang kusebut diatas, mematahkan tesis “setelah revolusi tak ada lagi”. Lalu, pilihan-pilihan “mulia” yang sukar dijalani bersamaan itu berganti:
“menyenangkan kedua orang tua dengan lulus tepat waktu berstatus cumlaude, memberi harapan pasti bagi yang saban pagi nanti beriku secangkir teh hangat tanpa gula juga kue klepon ketan gula merah, dan menjadi “seekor kuda” yang bergerak memungut serpihan kecil sejarah”.
Pilihan yang ku pilih -entah sebagai pembenaran atas kebenaran realita- bukan karena alasan masa represi itu berganti rupa, melainkan elan muda yang haus akan “lantangkan ide-ide berbahayamu”. Alasan yang mungkin dicibir dengan enteng dan sederhana: tak bisa memilah waktu, tak bisa memilih prioritas –bahkan hanya pembenaran bagi pilihanku saja.