Pilihan-pilihan “mulia” yang sukar dijalankan bersamaan itu menjadikan keberlebih-lebihan dalam pilihan yang diamini paling “mulia”. Hal ini akan menjadi tak rumit saat kebersamaan ada disekitar kita, bersama-sama seperti kisah menarik “Pak Tua” dalam Pecundang karya Maxim Gorky yang menginginkan terus terjadinya kebakaran di desanya. “Betapa mereka bergabung bersama sebagai teman. Jika saja mereka hidup seperti itu sepanjang waktu, jika saja selalu ada kebakaran!”, jelas “Pak Tua” itu.
Dialog itu yang hadirkan premis sederhananya yang menjadi dasar: impian akan persahabatan dan kebersamaan –yang tak ditemui dari orang-orang desanya, “mereka tak punya rasa kasihan satu sama lain”. Justru “Pak Tua” itu menemui impiannya dalam -tunggang langgang kepanikan, bahu membahu silang membantu, juga teriak penuh makian bernada canda tanpa perlu hati terluka- tragedi kebakaran di desanya. Persahabatan dan kebersamaan itu bias digenerasiku ini, hal yang mustahil terwujud oleh sebab terpenjara dalam teralis utopis. Tak salah memang, kehendak untuk senantiasa berharap akan angan masyarakat sempurna yang penuh persahabatan dan kebersamaan, seperti impian “Pak Tua” itu.
Tapi Bagiku, hal itu -negeri ideal dengan masyarakat sempurna- hanya ada dalam imajiner yang terbang di langit-langit, yang terlihat lamat-lamat. Sejatinya apa yang tersaji dalam esai Goenawan Mohamad berjudul More, Marx, “Manikebu” yang membedah cerita fiksi, Utopia karya Thomas More berikan pengertian akan adanya dis-topia (ketaksempurnaan –red) di dalam utopia, utopia yang dalam bahasa Yunani berarti “bukan tempat” dalam arti kata ou-topos dan eu-topos yang berarti “tempat yang baik”.
Berarti, utopia ialah “sebuah negeri yang baik, tapi juga sebuah negeri yang tak bertempat”. Teranglah bagiku, menginjak bumi ialah suatu keharusan, seruan keharusan. Karenanya, negeri utopia impian “Pak Tua” itu yang bagi Goenawan Mohamad mengisyaratkan makna bahwa “utopia sejak mula memang bukanlah sebuah masyarakat yang ideal, yang sempurna, melainkan sebuah masyarakat dimana hastrat akan kesempurnaan diterima sebagai sesuatu yang sah, justru ketika kesempurnaan dialami sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya dapat diartikulasikan”.
Lalu, dalam arti itu utopia juga bukanlah berarti sia-sia, waktu untuk ke arahnya tak berujung pangkal. Camus mengartikulasikannya dengan indah sebagai
“ikhtiar yang terus menerus, sebuah maraton panjang tanpa garis finis yang jelas, sebuah perjalanan menuju anak tangga terakhir di kaki langit yang dicita-citakan –suatu titik yang bila dihampiri, ternyata menjauh lagi”.
Bagiku, lebih sempit dalam konteks pendidikan -dengan kasus yang kusebut diatas- menuju utopia itu seia sekata oleh filsafat pendidikannya Paulo Freire tentang “suatu proses yang terus menerus, suatu commencement yang selalu mulai dan mulai lagi” –proses yang memanusiakan manusia.
Kini, masa maha-siswaku berdiri ditapal batas. Gairah “lantangkan ide-ide berbahayamu” tak mesti berujung, juga “menjiwai masa-masa muda dengan semangat muda” yang kusebut diatas hadir untuk tak mundur. Pergumulan batin yang paradoksal, antinomi akan hidup yang tak cuma terdidik-bekerja-berkeluarga-sukses-mati menjadi pemakluman diri yang terus menjadi pembelajar dalam ganasnya akademi kehidupan, yang diyakini Paulo Freire bahwa “kehidupan hingga ke segala sudutnya adalah akademi mahabesar, adalah para guru...”.
Akademi kehidupan, yang berarti pula berusaha tak henti-henti menjadi “seekor kuda” yang memungut serpihan kecil sejarah guna, meminjam Goenawan Mohamad, “keadaan yang lebih adil dan tanpa luka”. Keadaan yang didapati dari pengorbanan, aku sadar mesti ada yang menjadi korban. Maka untuk itu, belum terlambat untuk ku ucap sehimpun maaf itu. Terkhusus bagi kedua orang tuaku yang utama dalam tiap larik doaku selepas sembahyang. Sehimpun maaf, tanpa rasa sesal itu.
Itulah sekelumit pergumulan batinku yang mengendap genap 4 tahun ini. Ia hadir untuk menampar kehendakku, sekaligus menguatkanku. Setidaknya, perlu permenungan akan avontur yang telah untuk akan terjadi: apa yang terubah? sejarah dengan huruf kecil itu setia inheren bersama sejarah dengan huruf kapital? –mestinya tak selesai oleh adagium Heraclitus: “yang tetap itu adalah perubahan”. Karenanya, aku sebagai maha-siswa. Aku sebagai Indonesia. A
ku sebagai manusia sedikitnya berpikir mengingat kembali apa yang dikhawatirkan Immanuel Kant, yang dikutip Rizal Mallarangeng dalam kumpulan esainya, Dari Langit dengan “out of the crooked timber of humanity, no straight thing was ever made”.