Maaf tanpa penyesalan. Ikhtiarku akan laku yang jarang berpikir panjang. Kekhawatiran akan jalan yang redup dalam avontur hidupku. Kekhawatiran yang muncul darimu, dari sorot matamu, yang menatap dari kejauhan menemani dekat, yang silang isyarat tanpa banyak bertutur kata, yang berharap lewat penantian, menanti akan masa-masa maha-siswa yang habis akibat mitos yang tak tertolak Vivienne Devereaux, apalagi Dimas Saryo dalam Pulang: “le coup de foudre” –sekuntum mitos harum yang berduri.
Mitos yang tak kunjung ter-ia-kan hanya karena beralas pembenaran akan pilihan “muliaku” saja. Barangkali ku gugup akanmu, yang juga berusaha memahami posisiku, tanpa perlu menjadi Vivienne Devereaux atau Camila Vallejo. Toh, siapa pula aku ini. Bagiku, cukup dirimu menjadi lawan diskusiku hingga nanti, nanti yang saban pagi beriku secangkir teh hangat tanpa gula juga kue klepon ketan gula merah kesukaanku.
Nanti yang sampai kita berdua menua dengan percakapan berbobot di perpustakaan kecil kita, nanti yang mengasyikkan denganmu di hari tua. Nanti sebagai pelipur atas lipurnya penantian akan masa-masa maha-siswa yang dipeluk hangat mitos itu. Nanti dengan sekuntum mitos itu yang termanifestasikan dalam sehimpun karya sastra, yang timbulkan elan untuk ku ucap bersamaan di hari terakhirmu menjadi maha-siswa –memegang toga juga meminjam istilah tengil Sujiwo Tejo sambil “tersenyum tanpa subsidi”.
Nanti sebagai harapku yang kini memang terlihat labil, hanya harapku liris tentangmu denganmu di hari tua. Nanti, seperti keluh Lintang Utara -putri tunggal Dimas Saryo dan Vivienne Devereaux- yang mengutip T.S. Eliot dalam Pulang, “april is the cruelest month, breeding Lilacs out of the dead land, mixing memory and desire...”. Keluh akan kejamnya hari-hari april 2016, hari-hari dimana aku memulai realita dengan tak lagi menemui sorot matamu yang penuh rasa khawatir akanku.
Rasa cemas pada tingkat was-was yang timbul tenggelam. Ia ada dengan makna yang sukar dirumuskan dalam pendefinisian, apalagi ia ada dalam suara kedua orang tuaku: “Bocah kecilku yang baik, kini teriak kebaikan dengan tak baik”. Aporisme seperti “dengan tak baik” itu, yang setidaknya ku anggap, sebagai cara dalam melawan apa yang dikemukakan Camus dalam Pemberontak dengan “penjahat-penjahat yang mempunyai alibi yang sempurna, mereka adalah orang-orang dewasa.
Bukan lagi anak-anak yang nakalnya minta ampun yang memakai dalih cinta untuk dimaafkan”. Memang terdengar sayup-sayup premisku untuk menjelaskan ketidaktepatan kalimat “dengan tak baik” itu, yang selalu jadi muara pergumulan batinku, toh meski “dengan tak baik” itu bukan berarti hal yang salah. Apalagi untuk melawan “mereka yang bukan lagi anak-anak”, sepertiku yang selamanya kau anggap bocah kecilmu, yang bertingkah “nakal minta ampun yang memakai dalih cinta untuk dimaafkan” –cintamu sepanjang masa yang selalu memaafkanku.
Bagiku, suara Tuhan direpresentasikan dalam petuah orang tua kita, petuah yang terkadang ada diseberang gairah “lantangkan ide-ide berbahayamu” itu, petuah yang buatku berikrar pilu serupa Emha Ainun Nadjib: “inilah anakmu yang hina, Bu. Gagal bersilaturahmi dengan lingkar-lingkar kecil dari kehidupan, kemudian malah melompat memasuki kancah kisaran besar sejarah”. Akan tetapi, orang tuaku selalu berembuk untuk pemufakatan akan suara Tuhan yang lebih demokratis.
Berembuk akan pemusyawarahan yang tak selalu mufakat, terkadang sepakat untuk tak sepakat. Sebab itu, bolehkah bukan..bukan..bukan apakah aku bisa berhenti berikrar pilu itu –akibat petuah yang inheren dengan suara Tuhan?
Sehimpun maaf berarti sekumpulan kalimat pengakuan bersalah, dariku untuk benda-benda -baik hidup maupun tak hidup- yang berkena konsekuensi dari “opportuniy cost-ku”, termasuk diriku sendiri yang acapkali cemas akan avontur hidupku. Kecemasan yang abstrak dan dibuat-buat. Ia timbul akibat dariku yang selalu diluar diriku, berkelindan dengan apa yang dalam bahasa Budiman Sudjatmiko sebagai “kebahagiaan tertinggi untuk sesuatu yang besar, bukan diri sendiri yang kecil”. Hal yang buatku menjadi seakan-akan berlebih-lebihan.
Aku sebagai Indonesia, kita sebagai Indonesia, bukan eropa yang bagi Camus dalam Pemberontak, “bersedia melihat ketidakadilan berhadap dengan ketidakadilan”. Maka, kita tak pernah membawa segala sesuatu ke titik terekstrem. Camus berikan arti dalam “menyeimbangkan antara bayang dan cahaya”, yang ditafsirkan oleh Goenawan Mohamad dalam esainya, Camus dan Orang Indonesia dengan “sebaik-baiknya perkara adalah yang ditengah-tengah. Keberanian manusia dan keleluasannya ialah kebesaran menerima dirinya yang terbatas”.
Begitu pun perkara hidup, hadir untuk tak berlebih-lebihan, yang terus berpikir “untuk sesuatu yang besar” –pula senantiasa percaya akan semesta yang membersamai kita.